Kamis, 04 Februari 2016

Napak Tilas Perjalanan


Perjalanan mudik bersama keluarga Jakarta ke Purwokerto yang harusnya ditempuh 8 jam, kali ini harus saya nikmati 11 jam dari rumah saya di Jakarta. Inilah ritual perjalanan yang saya tempuh setahun sekali dalam suasana lebaran. Perjalanan ini bisa melewati jalur utara yang panas menyengat dengan jalan yang datar mulai dari Cikampek hingga daerah Tegal. Bisa juga melalui jalur selatan, mulai Bandung, Garut, Tasik, Ciamis, Banjar, Cilacap, hingga Wangon, lantas berbelok ke Ajibarang. Keduanya punya keunikan tersendiri.

Biasanya saya memantau arus mudik melalui berita TV, radio, jejaring sosial, ataupun antar teman yang sudah mudik duluan. Dari situlah saya memutuskan apakah lewat jalur utara atau selatan.

Baik melalui jalur utama maupun selatan, kami sekeluarga sudah hafal dimana harus beristirahat. Juga dimana kami, khususnya saya, mulai menikmati suasana kampung yang bersejarah.

Karena posisi kampung di daerah tengah antara jalur utara dan selatan, maka ada titik tertentu yang terasa unik. Jika dari utara, mulai Tegal kami harus berbelok ke selatan melalui jalur Bumiayu. Ketika memasuki wilayah Bumiayu Brebes yang berbukit-bukit, dengan udara sejuk, rasanya saya sedang berwisata. Kesuburan tanah di sepanjang perjalanan dengan air jernih yang mengalir di sungai yang melintas di jalan, serta buah-buahan pisang yang matang di pohon, terasa hampir sama dengan gambaran pemadangan surga, sebagaimana digambarkan di kitab suci.

Kadang saya berpikir, kenapa dengan lahan sesubur ini Indonesia masih harus impor jagung, beras, kedelai, daging sapi? penduduk sejumlah 240 juta jiwa mungkin terlampau banyak untuk dicukupi lahan subur seluas Indonesia. Atau ada salah kelola di pemerintahan.

Saya melintas perbukitan, jalan berkelok hingga sampai Ajibarang, kota kecamatan dimana saya bersekolah SMP. Masih 20km ke selatan dan barat untuk menuju desaku yang kucinta.

Di kota kecamatan ini ada soto paling enak dan langganan saya sejak saya SMP tahun 1980.
Saya mampir ke soto ajibarang menikmati soto khas bersama keluarga. Biasanya saya sampai di sini pas magrib, sekalian buka puasa dan berlanjut menuju desaku.

Saya harus melewati perbukitan lagi. Bedanya saya melewati perbukitan berkapur. Di daerah ini pernah ditemukan fosil hewan laut. pertanda entah apa, mungkin ribuan tahun lalu tempat ini adalah lautan.
Pernah pula ketika kecil daerah ini akan jadi ladang minyak.Namun setelah Pertamina melakukan survey dan hampir saja warga sekampung harus pindah rumah atau ikut transmigrasi. Untunglah hal itu tidak terjadi karena sumber minyak tidak ekonomis untuk digali (mungkin). Tak terbayangkan, jika waktu saya kecil itu Pertamina menemukan sumber minyak bumi, saya dan orang tua pasti diminta pemerintah untuk transmigrasi ke Sumater atau pulau lain.



Daerah berliku ini menyimpan sejarah yang hebat. Konon kakek moyang ku adalah sisa-sisa laskar pejuang kerajaan siliwangi yang bergerak ke timur dan tidak balik lagi ke kerajaan, akhirnya membangun kampung di daerah ini. Makanya di sini bahasanya khas perbatasan Jawa dan Sunda.

Ihwal sejarah kampung ini, saya telah mendapatkan kisahnya sejak masih SD melalui cerita sandiwara yang terkenal dengan seni ketoprak yang saya dengar lewat siaran radio setiap hari minggu.

"Mau pesen soto mas ?" tanya pelayan warung soto itu mengagetkan lamunan saya, sambil melempar senyum.

Saya melihat sekilas wajah pelayan warung yang ternyata si pemilik yang usianya hampir sama dengan usia saya. Ia adalah anak dari nyonya meneer, pemilik warung itu yang mungkin sudah tiada.

"iya mbak, soto istimewa," kata saya singkat, sambil membalas senyumnya yang rasanya tidak asing di mata saya. Soto istimewa adalah soto kesukaan saya, ramuannya ada sotoayam ditambah telur yang diiris beberapa potong ditambah bumbu kacang khas buatan Nyonya Meneer.
Oya soal nama Nyonya Meneer itu sebutan saya dan teman-teman yang kemudian populer dan dipakai banyak orang untuk menyebut ibu pemilik warung soto. Ini garagara nyonya bermata sipit itu mirip foto jamu nyonya meneer.

"Mas kayaknya sudah lama nggak ke sini ya," tanyanya. Ah rupanya ia sedikit hafal dengan pelanggan.

"Iya, mbak lebih dari 10 tahun. Dulu saya SMP di sebelah ini,"

"Kalau nggak salah sekelas sama Cing Hwat?" tanyanya.

"Wah iya, betul," saya menjawabnya dengan semangat. Nggak ngira, pemilik warung ini begitu peduli dengan pelanggan.

"Dimana dia sekarang Mbak? Saya dengan jadi arsitek di Singapura?"

"Iya , tapi tahun lalu balik ke Jakarta. Katanya nggak betah di negeri orang," jawabnya, sambil terus mengerjakan tugasnya melayani dan menyiramkan air panas ke mangkok soto. kerjanya sangat cekatan. sembari ngobrol, ia sesekali melihat dan menjawab pertanyaan karyawannya dan juga pelanggannya.
Saya merasa mendapat perlakuan istimewa karenanya.





















0 komentar:

Posting Komentar