Rabu, 03 Juni 2015

NYANYIAN RINDU


Coba engkau katakan padaku
Apa yang seharusnya aku lakukan
Bila larut tiba
Wajahmu terbayang
Kerinduan ini semakin dalam

Lagu yang mengalun di sebuah radio swasta itu seperti sedang menyindir suasana hatiku. Jam telah menunjukan pukul 23.30. Tak ada buku yang bisa aku baca dengan khusuk. Rumus kimia hanya 50% yang aku mengerti. Teori fisika lebih menyebalkan lagi, yang aku pahami mungkin hanya 25% saja.

Oh, ada bacaan yang lumayan menarik; IPA terpadu. Tentang seorang pilot yang menerbangkan pesawat tempur di sebuah atraksi pameran pesawat. Pilot harus menerbangkan pesawat dengan kecepatan tinggi. Ketika sampai di ujung langit biru, ia harus melakukan manuver, berbalik arah, menukik, lantas terbang rendah. IPA terpadu ini membahas empat mata pelajaran menjadi satu kesatuan, matematika, fisika, kimia dan biologi. Uraian itu disertai soal yang harus dipecahkan; bagaimana gaya grafitasi, besarnya oksigen yang dihirup pilot pada ketinggian tertentu, juga soal bagaimana detak jantung pilot di dalam pesawat tempur  yang terbang dengan kecepatan tinggi.

Wow ini pelajaran menarik.  "Ilmu yang mendekati kenyataan, "pikirku. Tapi, bagi pikiran saya yang sedang kusut ini, soal seberat itu mestinya bukan untuk SMA. Atau mungkin saja di era saya tahun 1985 ini, SMA Kelas 3 harus mampu memikirkan soal serumit itu, layaknya seorang sarjana yang sangat jago matematika, Kimia, Fisika dan Biologi. Nyatanya pelajarannya ada. Dan saya harus, kudu dan wajib mendalaminya, kalau nggak mau gagal di ujian nasional.

Sayangnya hatiku tidak sedang berada di lembaran buku soal ujian nasional, yang akan berlangsung seminggu lagi. Di atas kertas putih yang berisi rumus kimia, fisika dan matematika itu ada bayangan wajah Lia, siswa kelas 3 pindahan dari Jakarta itu. Ia seperti lukisan yang ingin segera aku pajang di dinding kamar. Dan lagu "nyanyian rindu" Ebiet G Ade itu menjadi merasuk ke dalam hatiku. bercampur, terpadu dalam satu kata; rindu.
Ini bukan rindu dengan orang di seberang lautan. Aku tak perlu mendaki gunung atau menyeberangi laut untuk bertemu dengannya. Cukuplah tidur dengan nyenyak, hingga esok terbit matahari, maka senyum Lia akan dengan mudah aku dapatkan di ruang kelas. hanya dua baris dari tempat dudukku.

"Belum tidur Bram ?" 
Tiba-tiba ada suara mengagetkan. Aku menoleh ke arah suara itu, sambil menyembunyikan rasa kagetku. Fajar, teman kostku pasti habis sholat Isya. Saya tahu ia hampir selalu sholat Isya menjelang tidur. Itu masih lebih bagus daripada temanku satu lagi yang sholatnya hanya Magrib, atau kamar satunya lagi, Yanto, yang sholatnya tergantung mood.

"Tanpa terasa ya, kita sudah 3 tahun di sini dan dua bulan lagi sudah bukan anak SMA?"
Fajar memecah keheningan. Tampaknya ia serius. Ia menyeret kursi dan duduk di dekat meja belajarku. Saya mencoba tersenyum. Bayangan wajah Lia menyelinap sejenak di depan mataku.

"Ya, rasanya kita semakin dewasa. Sekarang ini ratusan teman kita di SMA pasti sedang bertanya-tanya dan merasakan hal yang sama dengan kita," jawabku sekenanya. Sambil berkata begitu, lagi-lagi terbayang senyum Lia.

"Masalahnya ini lho, saya belajar susah sekali," lanjutku.
"Salah sendiri, kamu ambil jurusan IPA. Yang sebenarnya nggak kau nikmati," kata Fajar
"Lha emang kamu senang dengan pelajaran IPSmu?"

"Ya itu dia, saya ini senang dengan urusan mesin. Harusnya di IPA, malah kalah sama yang lain. Pelajaran IPS menyebalkan hehehe".

"Tapi tahun ini saya senang di IPA kok, karena tiap hari ketemu Lia hehehe," saya mencoba bicara jujur sambil menyimpan sedikit rahasia tentang gemuruh rindu yang ada di dalam dadaku.

 "Ya saya tahu, kamu senang lihat Lia, dan Lia senang menghindar darimu hahahaha. Mana ada orang cantik dan kaya bisa deket dengan kita yang miskin, dari pelosok pula???"

Kami tertawa cekikikan. Sejenak kemudian, saya turunkan volume suara ketawa, menyadari malam telah larut dan segera masuk dini hari.

"Harusnya kamu memotivasi saya, kenapa malah bikin saya nggak PD?" kataku  protes, tapi tidak terlalu serius. .
"Sudahlah, jangan bahas itu dulu. Sudah jam 12 lebih, sampai besok, ya" ujar Fajar pamit. Saya mengangguk. 
Beberapa saat kemudian, ia balik badan dan hilang di balik pintu.
Saya kembali duduk. Mencoba membaca beberapa kalimat di buku IPA terpadu. Namun tak ada satu barispun yang masuk ke otak.

Sebaiknya saya segera menarik selimut dan mencoba tidur. 

Kerinduan ini memang terasa semakin dalam. Kenyataan yang harus aku terima.


(belum selesai alias bersambung......................................bams)



7 komentar:

  1. Bahasanya bagus, enak dibaca dan hidup. Semoga Novel cepat terbit.

    BalasHapus
  2. Sayang, tokoh Yanto digambarkan tak pernah sholat, padahal waeyanto rajin sholat lho. Saya proteeees......

    BalasHapus
  3. Usul saya, temannya Bram yg tak pernah sholat itu diganti aja dg Yus

    BalasHapus
  4. Usul saya, temannya Bram yg tak pernah sholat itu diganti aja dg Yus

    BalasHapus
  5. Sayang, tokoh Yanto digambarkan tak pernah sholat, padahal waeyanto rajin sholat lho. Saya proteeees......

    BalasHapus
  6. Sayang, tokoh Yanto digambarkan tak pernah sholat, padahal waeyanto rajin sholat lho. Saya proteeees......

    BalasHapus
  7. makasih mas waeyanto atas komentar dan usulannya hehehe salam.

    BalasHapus