Novel Camellia Karya Bambang Suharno

Terinspirasi dari lagu Camellia karya Ebiet G Ade yang melegenda di tanah air.

Disusun Untuk Menghargai Karya Ebiet G Ade

Sang Maestro yang menghasilkan puisi dan laku yang tak lekang oleh zaman

Di Tengah Hiruk Pikuk Kehidupan

Aku Harus menyepi untuk menggali jawaban yang tersembunyi

Dunia yang gemerlap

Hanyalah hiasan

Kadang kita perlu menikmati

Sejenak tentang makna hidup yang belum kita ketahui

Minggu, 12 Juli 2015

Guru Matapelajaran Kosong (GMK)



“Ngomong-ngomong, siapa guru SMAmu yang paling mengesankan?,” tanya Pras ketika makan malam di rumah kost. Waktu itu ujian SMA sudah selesai, tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Pras adalah teman kost yang sekolah di SPGN (Sekolah Pendidikan Guru Negeri) Purwokerto, SPG yang  cukup terkenal di berbagai kota di Jateng dan siswanya banyak dari luar kota. Untuk menjadi guru SD di masa itu tidak perlu kuliah, cukup menempuh SPG  yang setara dengan SMA, begitu lulus bisa meneruskan kuliah atau langsung menjadi guru SD.

Guru SD adalah profesi yang sangat didambakan oleh para orang tua di pedesaan. Mereka khususnya para petani mendambakan anaknya jadi guru, sebuah profesi yang sangat terhormat. Namun bagi kalangan perkotaan profesi guru , khususnya guru SD kurang menarik. Lagu berjudul Umar Bakri yang didendangkan Iwan Fals, di masa itu  ikut mempengaruhi persepsi publik soal guru yang hidup jujur berbakti, tapi makan hati.  Jadi tak sedikit siswa SMA negeri yang merasa derajatnya lebih tinggi dari SPG.  Sebaliknya, meskipun siswa SPG Purwokerto yang merupakan hasil seleksi ketat, banyak yang merasa kurang keren dibanding SMAN Purwokerto.

Tapi Pras tidak demikian. Ia anak SPG yang rendah hati  sekaligus banyak gaul.  Sifatnya banyak bertanya tentang pengetahuan umum dan juga soal IPA. Itu sebabnya ia cukup dekat denganku.  Hobynya main gitar, dengan tingkat keahlian pas-pasan sepertiku.  Tapi dia cukup berani bernyanyi di panggung, disertai tepuk tangan meriah, bukan karena bagusnya, tapi karena kenekatannya hehehe.

“Guru yang paling mengesankan adalah Guru Matapelajaran Kosong,” aku menjawab sambil tertawa.
“Hahaha, dasar malas sekolah,”

Meskipun sambil tertawa, namun “mata pelajaran Kosong” di sekolah ku , khususnya bagiku, punya kesan tersendiri.

Sabtu, 20 Juni 2015

SUATU HARI DI TAHUN 1985


"Maaf kan aku Bram..," Camellia tidak melanjutkan kalimatnya.
Matanya berkaca-kaca. Ia melihatku sejenak, kemudian menengok ke samping, matanya yang agak sipit dengan bulu matanya yang lentik mengarah keluar jendela. Tampak kegelisahan mendera tubuhnya.
Gelas es jeruk kesukaannya yang tinggal terisi setengah, agak bergoyang sedikit karena tangan Lia yang tidak tenang di atas meja. Hampir saja ia menumpahkannya, ketika ia bermaksud mengambilnya untuk mencoba kembali menikmatinya.

Aku tahu, ia tidak sedang menikmati es jeruk. Ia hanya ingin sedikit lebih tenang. Bibirnya mencoba tersenyum semanis mungkin, meski tak bisa menyembunyikan kegalauannya.

Sementara aku, yang duduk di hadapannya berusaha untuk tidak lagi berharap sesuatu darinya. Sesuatu yang sejatinya akan membuat aku belajar jadi lelaki dewasa. 
Aku mestinya mencoba berperan seperti Galih yang berhadapan dengan Ratna di film Gita Cinta Dari SMA yang dibintangi Rano Karno dan Yessi Gusman, yang sangat populer di era tahun 1980an itu. Faktanya  tidak demikian. Hmmm, ini memang bukan film. Hidup ini tidak perlu berharap seperti cerita film, bahkan dunia nyata biasanya bertolak belakang dengan cerita film.

Jumat, 05 Juni 2015

Cita Cita Kecil Si Anak Desa

Aku pernah punya cita-cita hidup jadi petani kecil

Tinggal di rumah desa dengan sawah di sekelilingku
Luas kebunku sehalaman 'kan kutanami buah dan sayuran
Dan di kandang belakang rumah kupelihara bermacam-macam peliharaan
...........................................................................................

............................................................................................
Desaku pun pasti mengharap aku pulang
Akupun rindu membasahi bumi dengan keringatku
Tapi semua itu hanyalah tergantung padaNya jua
Tapi aku merasa bangga setidak-tidaknya ku punya cita-cita
(Cita-Cita Kecil si Anak Desa, Ebiet G Ade)

"Aku ingin jadi polisi, aku ingin jadi tentara, aku ingin jadi dokter, aku ingin jadi insinyur, aku ingin jadi guru". Itulah jawaban khas anak-anak tatkala ditanya tentang cita-cita. Mulai dari aku kecil, tahun 1970an hingga sekarang tahun 2015an, jawabannya kurang lebih sama. Setahu saya tidak ada pelajaran khusus tentang cita-cita, tapi penjelasan tentang kebanggaan menjadi dokter, polisi, tentara, insinyur cukup jelas di benak anak-anak sehingga memilik daya tarik tersendiri.

Di desaku, dimana hampir 100 persen penduduk adalah petani, teman-teman saya di SD hampir semuanya "mengaku" bercita-cita menjadi petani. Hanya satu dua orang berani menyatakan cita-cita menjadi guru. Satu dua ingin menjadi tentara (dulu disebut ABRI). Tak ada satupun yang berani bercita-cita jadi dokter atau insinyur.


Rabu, 03 Juni 2015

NYANYIAN RINDU


Coba engkau katakan padaku
Apa yang seharusnya aku lakukan
Bila larut tiba
Wajahmu terbayang
Kerinduan ini semakin dalam

Lagu yang mengalun di sebuah radio swasta itu seperti sedang menyindir suasana hatiku. Jam telah menunjukan pukul 23.30. Tak ada buku yang bisa aku baca dengan khusuk. Rumus kimia hanya 50% yang aku mengerti. Teori fisika lebih menyebalkan lagi, yang aku pahami mungkin hanya 25% saja.

Selasa, 02 Juni 2015

TRAUMA TELUR ASIN DAN REJEKI SI BODOH



Namanya Anang Sambodo.  Ia mempopulerkan diri dengan nama Anang Sam. Saya mengenalnya tahun 2006, saat dimana saya sedang berusaha mengembangkan komunitas wirausaha. Di komunitas ini saya ingin berperan mengembangkan kewirausahaan di Indonesia, melalui kegiatan sharing pengalaman, training, seminar, mentoring  dan pertemuan-pertemuan lainnya.

Pada saat saya bertemu , rupanya dia baru pulih dari "trauma telur asin". Ia seperti baru kambali dari keterasingan dan kembali ke bumi beradab. Untunglah, ia menemukan pergaulan komunitas yang dapat mensupportnya dengan baik. Kisah trauma telur asin justru menjadi pelajaran hidup buat dirinya dan buat banyak orang, termasuk saya.

LAGU UNTUK SEBUAH NAMA

Mengapa jiwaku mesti bergetar
Sedang musik pun manis kudengar
Mungkin karena kulihat lagi
Lentik bulu matamu
Bibirmu dan rambutmu yang kau biarkan
Jatuh berderai di keningmu
Makin mengajakku terpana
Kau goreskan gita cinta
(Lagu Untuk Sebuah Nama, Ebiet G Ade)



Nama itu agak terasa asing di telinga saya Camellia Azizah. Aku kurang paham artinya, tapi mendengar nama itu, pasti dia bukan berasal dari kampungku
Ia baru beberapa bulan pindah dari Jakarta ke Purwokerto. Orang tuanya seorang pejabat bank, yang baru pindah ke kota ini. Wajahnya bening sebagaimana umumnya orang berada. Bedanya, ia tetap tampil sederhana. Aku yang biasa kurang begitu dekat dengan gadis cantik, dan keluarga kaya, menjadi kurang menghiraukan kehadiran siswa baru di kelas ini. Sudah jelas, seperti itulah aku
Ah tapi kadang akuberpikir, mungkin saja saya akan mengalami seperti cerita novel atau film. Cerita pertemuan lelaki biasa dari keluarga biasa dengan gadis cantik orang kaya. “Hahahaha itu cerita novel, bukan kenyataan,”batinku menghibur.

“ Bram, bisa nggak saya minta tolong,” suara seorang gadis mengagetkanku ketika  jam istirahat dimana saya tidak keluar ruangan. Oo ternyata Lia.

Sabtu, 23 Mei 2015

BERDAMAI DENGAN KEINGINAN



Hari itu Minggu pertama di bulan Januari 1975, saya harus berdamai dengan keinginanku yang menggebu untuk memiliki sebuah sepeda mini. Di tahun itu, sepeda adalah barang mewah, apalagi buat anak kampung seperti saya. Di Kampung yang jumlah penduduknya hanya 2000an orang ini, keluarga yang mampu memiliki sepeda hanya beberapa orang saja antara lain para pejabat Desa, guru, pedagang atau petani yang punya lahan luas. Beruntung, ayah saya seorang guru SD dan ibu saya pemilik warung sembako. Saya yakin, kalau mau, tidak sulit bagi orang tua saya untuk membeli sepeda. Tinggal bilang  sama Ko Kim San, pasti sepeda sudah bisa di tangan saya.