Jumat, 05 Juni 2015

Cita Cita Kecil Si Anak Desa

Aku pernah punya cita-cita hidup jadi petani kecil

Tinggal di rumah desa dengan sawah di sekelilingku
Luas kebunku sehalaman 'kan kutanami buah dan sayuran
Dan di kandang belakang rumah kupelihara bermacam-macam peliharaan
...........................................................................................

............................................................................................
Desaku pun pasti mengharap aku pulang
Akupun rindu membasahi bumi dengan keringatku
Tapi semua itu hanyalah tergantung padaNya jua
Tapi aku merasa bangga setidak-tidaknya ku punya cita-cita
(Cita-Cita Kecil si Anak Desa, Ebiet G Ade)

"Aku ingin jadi polisi, aku ingin jadi tentara, aku ingin jadi dokter, aku ingin jadi insinyur, aku ingin jadi guru". Itulah jawaban khas anak-anak tatkala ditanya tentang cita-cita. Mulai dari aku kecil, tahun 1970an hingga sekarang tahun 2015an, jawabannya kurang lebih sama. Setahu saya tidak ada pelajaran khusus tentang cita-cita, tapi penjelasan tentang kebanggaan menjadi dokter, polisi, tentara, insinyur cukup jelas di benak anak-anak sehingga memilik daya tarik tersendiri.

Di desaku, dimana hampir 100 persen penduduk adalah petani, teman-teman saya di SD hampir semuanya "mengaku" bercita-cita menjadi petani. Hanya satu dua orang berani menyatakan cita-cita menjadi guru. Satu dua ingin menjadi tentara (dulu disebut ABRI). Tak ada satupun yang berani bercita-cita jadi dokter atau insinyur.


Aku sempat bermimpi jadi dokter, tapi di dalam kelas, ketika pak Guru meminta murid-murid untuk mengarang tulisan bertema "Cita-Citaku", aku mencoba menulis cita-cita sebagai guru. Namun baru mulai mau menulis judul, niat itu saya urungkan. Demi solidaritas terhadap mayoritas, saya akhirnya memilih bercita-cita jadi petani. Bedanya, teman-temanku menulis petani yang tiap pagi mencangkul, aku mencoba berimprovisasi. Ingin jadi petani yang punya ladang dan sawah luas, dengan teknologi yang baik sehingga produksi padi dan cengkeh lebih baik dari petani lain.

Oya, kampung saya dikenal sebagai produsen cengkeh yang bagus. Setiap libur sekolah hampir bersamaan dengan musim panen cengkeh. Anak-anak yang jarang makan telur dan protein hewani lainnya, saat musim cengkeh itulah mereka dan juga aku, bisa makan telur satu butir per orang. Sebuah kemewahan yang luar biasa di akhir tahun 1970an.

"Kenapa kamu nggak nulis cita-cita jadi guru ? Kamu layak mendapatkan itu," kata Suwardi yang duduk di sebelahku. Saat itu kelas 6, Pak Waluyo, guru kelas ingin memberikan motivasi ke anak-anak agar kelak bisa melanjutkan ke SMP dan bisa menjadi manusia terdidik dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Wardi adalah anak buruh tani yang cerdas, namun ia kerap terbelenggu oleh lingkungannya sendiri, bahwa keluarga buruh akan sulit untuk bisa berpendidikan tinggi.

"Nggak apa-apa ini kan namanya mengarang, mau jadi petani atau presiden terserah yang menulis," ujarku membela diri. Jujur saja, aku agak kesulitan melanjutkan karangan. Namun, secara spontan, Wardi memberi saran. "Kamu harus bikin karangan cita-cita menjadi petani yang memiliki traktor, punya banyak ternak sapi, ayam, kolam ikan. Produksinya dibawa ke kota, bahkan bisa diekspor. Gitu baru bagus,"

Aku tersenyum, "kadang-kadang kamu pinter juga ya"
Waktu tinggal 10 menit. Wardi sudah menyelesaikan tugasnya. Aku langsung ngebut melanjutkan karangan. Kali ini aku ingin mendapatkan nilai yang terbaik.

Aku uraikan bagaimana bahagianya jika aku sebagai petani dengan sawah yang berhektar-hektar. Memiliki traktor untuk membajak. Memiliki banyak ternak Sapi, namun tidak memanfaatkan sapi untuk membajak. Untuk ukuran anak SD, aku yakin imajinasiku paling top.

Sepuluh menit kemudian, aku sudah menyelesaikan karangan cita-cita. Aku bergegas maju ke depan, menyerahkan karanganku ke pak Guru. Dalam soal tulis menulis, aku sudah biasa mendapatkan nilai terbaik di kelas.

Hari itu aku pulang sekolah berjalan kaki bersama Wardi sambil berbincang tentang cita-cita. "Kira-kira 10 tahun lagi aku jadi apa ya?" tanyaku ke wardi.

"Kamu bisa jadi guru, jadi dokter atau insinyur. apa saja bisa buatmu. Kalau saya cukup jadi buruh saja," jawabnya enteng.
"Apa kamu nggak pengin jadi guru?" tanyaku.
"Iya pasti, semua orang kampung kita kan memandang guru itu sangat hebat. Bisa mengajar, memimpin kegiatan pemuda, menggerakkan kegiatan PKK, penyuluhan kesehatan. Guru bisa apa saja. Tapi orang tua saya nggak mungkin membiayai sekolah guru," ia bicara demikian lancar, dan dewasa.

Benar juga kata Wardi, di kampungku, guru dipandang sebagai orang yang serba bisa. Itu sebabnya, orang tua akan sangat bangga jika anaknya diterima di Sekolah Pendidikan Guru (SPG), sekolah yang setara dengan SMA.

Setahu saya, menjadi guru SD adalah cara tercepat untuk berkarir di lingkungan PNS. Karena selepas SMP langsung masuk SPG dan langsung diterima sebagai guru SD yang berstatus PNS.
SPG hanya ada di kota-kota tertentu, salah satunya di Purwokerto. Persaingan untuk masuk ke sekolah ini menjadi sangat ketat. Jarang orang kampungku yang diterima di SPG negeri.

Jika ada survey mengenai minat berkarir, terhadap anak-anak di kampung  ini ,  aku yakin, guru adalah karir paling favorit . Urutan kedua adalah tentara. Profesi tentara adalah profesi yang sangat membanggakan. Mungkin karena daerah saya adalah daerah perjuangan. Para orang tua di kampung kami pada umumnya ikut berjuang melawan pemberontak DI/TII dan PKI. Sebagian ikut berperan melawan tentara Belanda dan Jepang. Di masa kecil itu, aku senang sekali mendengarkan cerita kakek yang termasuk manusia tiga zaman; jaman Belanda, Jepang dan Jaman Kemerdekaan.

Wajar jika orang tua di kampung kami bangga anaknya jadi tentara karena mereka mengidolakan Jenderal Soedirman, tokoh nasional yang lahir di Purbalingga, yang jaraknya sekitar 50 km dari kampung saya dan memiliki budaya yang sama.

Urutan ketiga, mungkin profesi sebagai pegawai kelurahan, kecamatan atau PNS lainnya selain guru, dan tempat favorit terakhir adalah menjadi petani.

Pertanian adalah pekerjaan semua orang di kampung kami. Guru, PNS, TNI boleh dikatakan semuanya hidup bukan hanya dari gaji sebagai PNS melainkan dari lahan pertaniannya. Pada masa kecilku cengkeh adalah komoditi paling menguntungkan. Maka siapapun yang punya tanaman cengkeh dipastikan memiliki status ekonomi lebih baik dibanding masyarakat pada umumnya. Dan semua PNS di kampung memiliki tanaman cengkeh.

Menjadi petani adalah pekerjaan semua orang. Keluargaku juga memelihara kambing satu dua ekor, ayam beberapa ekor dan punya kebun yang dikelola sekeluarga dan sebagian dikelola oleh orang lain. Begitulah kenapa masyarakat senang anaknya menjadi guru, salah satunya  karena mereka mendapat penghasilan ganda, dari guru dan dari lahan pertaniannya. Juga karena status sosialnya yang sangat baik.

Jika teman-teman satu kelas hampir semuanya memulai karangan cita-cita sebagai petani, itu karena semuanya adalah keluarga petani dan menulis karangan tentang petani sangat mudah. Itu adalah pekerjaan saya dan kawan-kawan sekampung setiap hari. Jadi bukan soal cita-citanya melainkan memilih topik yang mudah untuk ditulis sebagai karangan. Namanya juga mengarang, pasti cari yang mudah ditulis.

Ketika memasuki SMP, cita-citaku bukan lagi soal pekerjaan. Saya tidak terlalu memikirkan apakah kelak menjadi guru, dokter, insinyur atau apa, melainkan saya bisa pergi kemana saja. Ini gara-gara Pak Slamet Priyanto, guru IPS yang sangat pintar mengajar geografi. Guru yang satu ini adalah satu-satunya guru yang bergelar Bachelor of Art (BA). Di masa itu gelar sarjana bagi guru SMP adalah sebuah kemewahan, dan gelar sarjana muda (BS, BSc) sudah mendapatkan kelas gengsi tersendiri. Hanya guru SMA yang gelar sarjana penuh. Guru SMP pada umumnya lulusan diploma-1, Hanya pak Slamet Pri inilah yang sarjana muda.

Bukan saja soal gelar BA, Pak Slamet juga sangat pintar dan cerdas menjelaskan peta dunia. Begitu berdiri di depan kelas dan menjelaskan peta dunia, ia dapat menggambar negara-negara Asia Afrika Eropa, Amerika dan Australia dalam waktu sangat singkat.

Yang paling mengesankan adalah ketika ia menjelaskan beda Amerika Serikat dengan Indonesia. "Selisih waktu antara Indonesia Bagian Barat dengan waktu New York adalah 12 jam. Kalau kita berada di New York jam 7 malam, maka di sini jam 7 pagi. Kita bisa bayangkan seperti bumi dan langit.  Kalau kita telepon ke Indonesia harus mengatakan selamat pagi waktu Indonesia dan selamat malam waktu Amerika," jelas pak Slamet.

Penjelasan itulah yang membuat imajinasi saya menjadi jauh di atas logika. Kini tak lagi penting jadi guru atau petani, yang penting bisa ke Amerika, menikmati perbedaan waktu 12 jam.
Kalau demikian, cita-citaku tidak lagi sederhana. Ini soal perjalanan puluhan ribu kilometer yang biayanya tak terbayangkan mahalnya. Mungkinkah jadi guru bisa ke Amerika? Bagaimana kalau jadi dokter? Jadi tentara? Pertanyaan yang sulit dijawab.

Kali ini di SMP tak ada tugas mengarang dengan judul "Cita-citaku". Mungkin mengarang cita-cita hanya untuk anak SD. Anak SMP dan seterusnya sudah bisa mengarang sendiri. Atau mungkin sudah tidak penting lagi cita-cita anak SMP. Yang penting setelah SMP mau bercita-cita masuk SMA, STM, atau SPG. Itu saja.

Maka suatu malam, entah malam apa, aku lupa, aku mencoba menulis sendiri cita-citaku, untuk kusimpan sendiri, bukan untuk dikumpulkan ke guru Bahasa Indonesia. 

Suatu hari kelak, 
aku akan terbang ke Amerika Serikat, 
menikmati perjalanan menembus waktu, 
menikmati perbedaan waktu 12 jam. 
"Di sini jam 7 malam, di situ jam berapa? " 
Pasti ini pengalaman yang luar biasa.
Ya Allah berilah jalan untuk meraih impianku.
Brams, 1979


Untuk meyakinkan diri, aku membuka peta dunia dan mencoba menggambar peta Amerika Serikat dan menuliskan : "Saya ada di sini". Begitulah cita-citaku, cita-cita kecil si anak desa. Oo bukan, ini cita-cita besar si anak desa.***




0 komentar:

Posting Komentar