…………………………………….
Pengorbanan
yang tak sia-sia
untuk negeri
yang dicintai, dikasihi.
Tangan dan
kaki rela kau serahkan
Darah,
keringat rela kau cucurkan
Bukan hanya
untuk ukir namamu
Ikhlas demi
langit bumi
bersumpah
mempertahankan setiap jengkal tanah
(Seraut
Wajah, Ebiet G Ade)
Alkisah, di jaman dahulu ketika negeri bernama
Indonesia belum lahir, Kerajaan Galuh Pakuan (Padjadjaran) yang dipimpin oleh
Adipati Munding Wilis sempat dilanda kekeringan besar. Kerajaan Padjadjaran adalah kerajaan yang
sangat terkenal di wilayah yang sekarang dikenal Jawa Barat. Waktu itu warga negeri
Padjadajaran hidup dalam kesulitan.
Dalam keadaan seperti itu, istri Adipati Munding Wilis
yang sedang hamil meminta untuk dicarikan daging kijang berkaki putih. Adipati pun tidak dapat menolak permintaan
istrinya yang sedang hamil itu. Segera
saja sang Adipati pergi ke hutan bersama para punggawanya. Dia menaiki kuda yang bernama Dawuk Mruyung. Telah lama dicari, kijang berkaki putihpun tak juga
ditemui. Hingga akhirnya mereka sampai
di sebuah perkampungan para perampok.
Kampung perampok itu dipimpin oleh Abulawang. Setelah mengetahui dari anak buahnya bahwa
yang datang adalah Adipati Munding Wililis beserta punggawanya yang membawa
bekal banyak, gembong perampok itu segera menyiapkan pasukan. Mereka hendak merampas bekal sang
Adipati. Dan, perangpun terjadi antara
pasukan Adipati dan pasukan Abulawang.
Perang tersebut dimenangkan oleh kawanan perampok Abulawang. Adipati dan punggawanya diperkenankan pulang
ke Kadipaten Galuh. Sang Adipati pulang
dengan berjalan kaki karena kuda miliknya juga ditawan. Perampok Abulawang sangat puas mendapatkan
harta rampasan yang berlimpah.
Setibanya di kadipaten, dalam kondisi badan yang
sangat lelah, sang Adipati segera menemui istrinya dan melaporkan kejadian yang
dialaminya selama perjalanan mencari kijang berkaki putih yang tidak dapat ia
temukan. Segera saja kesedihannya
berubah menjadi kebahagiaan. Istrinya
telah melahirkan seorang putera yang tampan.
Anak itu memiliki tanda lahir di lengan kanannya berupa belong “toh Wisnu”.
Namun, suka cita itu tidak lama mereka rasakan. Tiba-tiba perampok Abulawang beserta seluruh
pasukannya datang menyerang Kadipaten Galuh Pakuan. Kadipaten porak poranda. Semua harta ludes dirampok oleh
Abulawang. Putera sang Adipati yang baru
berusia empat hari dibawanya. Adipati
dan istrinya kebingungan. Akhirnya
mereka dibantu oleh Ki Juru Taman, pembantu kadipaten untuk mencari puteranya
di setiap sudut kadipaten.
Untunglah, ada yang memberi tahu bahwa putera mereka
dibawa oleh Abulawang. Keduanyapun
memutuskan untuk pergi mencari puteranya.
Dengan berpakaian seperti rakyat biasa, mereka mengubah nama menjadi Ki
Sandi dan Nyai Sandi. Perjuangan yang tidak mudah.
Di Bukit Mruyung, Abulawang dan istrinya merasa
bahagia. Selain mendapat harta, mereka
juga mendapat seorang anak yang merupakan anak seorang adipati. Telah lama mereka menginginkan seorang
anak. Abulawang dan istrinya mengangkatnya
menjadi anak dan memberinya nama Jaka Mruyung.
Tumbuhlah Jaka Mruyung menjadi semakin dewasa. Pernah suatu ketika dia mendapat pesan dari
Abulawang untuk tidak keluar dari daerah Mruyung. Namun, keinginannya dan kebosanannya membuat
dia ingin mengelana. Jaka Mruyung pergi
tanpa pamit. Dia mengendarai Dadung
Awuk, kuda yang pernah dirampas dari Adipati Munding Wilis. Anak buah Abulawang yang mengetahui segera
mengejar Jaka Mruyung. Namun, Jaka
Mruyung tidak dapat terkejar.
Jaka Mruyung pergi ke timur melewati hutan-hutan. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah rumah
kecil. Dia lalu mampir ke rumah
itu. Rumah itu ternyata milik Ki
Mranggi, bekas prajurit Majapahit.
Dengan senang hati Ki Mranggi menerima kedatangan Jaka Mruyung. Jaka mruyungpun ditawarinya untuk tinggal
menetap di sana. Dia dianggap sebagai cucu
Ki Mranggi. Oleh Ki Mranggi, dia diajari
membaca, menulis, olah keprajuritan, bela diri, dan ilmu kanuragan. Setelah dirasa ilmunya mencukupi, Jaka
Mruyung diijinkan melanjutkan pengembaraannya.
Atas petunjuk Ki Mranggi, Jaka Mruyung disuruh pergi ke timur mencari
hutan besar bernama Alas Pakis Aji. Jaka
Mruyung segera berpamitan. Dia berpesan
agar desa tempat Ki Mranggi itu dinamakan Desa Panulisan, desa tempat dirinya
belajar baca tulis.
Berhari-hari Jaka Mruyung melakukan
perjalanannya. Dia beristirahat disebuah
padang rumput yang luas. Kemudian daerah
itu dinamakan Gumelar, artinya sesuatu yang luas, yang kini menjadi nama sebuah
kecamatan. Di kecamatan inilah adalah
desa Telaga Warna, desa tempat saya lahir yang berbatasan dengan kabupaten
Cilacap.
Jaka Mruyung melanjutkan
perjalanannya. Di tengah perjalanan ia
bertemu seorang pemuda yang bernama Tlangkas.
Tlangkas memberitahu bahwa Alas Pakis Aji sudah dekat, di sisi barat
Kadipaten Kutanegara.
Diceritakan bahwa pada saat itu Ki Sandi dan Nyai
Sandi sudah sampai di rumah Ki Mranggi.
Dia mencari tahu keberadaan puteranya.
Dengan diberi tahu tanda lahirnya, Ki Mranggipun mengetahui bahwa itu
adalah Jaka Mruyung. Ki Mranggi
mengatakan bahwa Jaka Mruyung sedang dalam perjalanan menuju Alas Pakis
Aji. Segera saja mereka pamit dan
menyusul Jaka Mruyung. Dalam perjalanannya
yang melelahkan, mereka beristirahat di tepi sungai yang airnya bening dan kemracak (gemercik). Maka, daerah itu dinamakan Desa Kracak. Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan
orang yang berbahasa Sunda. Dia membawa
buah gondang amis yang artinya buah gondang manis. Maka, daerah tersebut dinamakan Desa
Gondangamis.
Sampailah Jaka Mruyung di pinggir Alas Pakis Aji. Dia beristirahat di sebuah tempat yang banyak
burung jalaknya dan tempat itupun diberi nama Pejalakan. Setelah beristirahat, Jaka Mruyung masuk ke
Alas Pakis Aji. Sampailah dia di Kali
Datar (nama sebuah sungai di Ajibarang, Banyumas). Di sana dia menjumpai sebuah kedung yang
banyak burung serwitinya. Tempat itupun
akhirnya bernama Kedung Serwiti. Segera
saja dia membabat hutan itu. Di tengah
dia membabat hutan, dia melihat beberapa orang sedang membuat tambak ikan. Jaka Mruyung mendekati mereka dan meminta
mereka membantunya membabat hutan.
Mereka menyanggupinya.
Saat membabat hutan, Jaka Mruyung bertemu dengan ular besar. Dengan kesaktiannya, dia menangkap ular itu
dan dibunuhnya. Ular tersebut kemudian
dibakar. Api pembakaran itu kemudian
merambat hingga membakar seluruh Alas Pakis Aji. Kebakaran itupun diketahui oleh Adipati
Nglangak penguasa Kadipaten Kutanegara.
Adipati marah. Dia memerintahkan
menangkap orang yang telah membakar Alas Pakis Aji. Jaka Mruyungpun dapat ditangkap dan ditahan
di Kadipaten Kutanegara. Tidak lama
kemudian dia dibebaskan.
Adipati Nglangak
memiliki tiga orang anak perempuan, yaitu Dewi Pandansari, Dewi
Pandanayu, dan Dewi Rantansari. Mereka
bertiga juga merupakan senapati wanita di kadipaten itu. Suatu hari, Kadipaten Kutanegara hendak
mencari seorang senapati lewat sayembara.
Jaka Mruyungpun ikut serta dalam sayembara itu. Dalam pertandingan akhir, Jaka Mruyung dapat
mengalahkan kesaktian Ki Kentol Ireng. Atas
kemenangan itu ia diangkat menjadi Senapati Kadipaten Kutanegara dan dinikahkan
dengan Dewi Pandanayu.
Pada akhirnya, Jaka Mruyung dapat menggantikan
kedudukan Adipati Nglangak menjadi pemimpin Kadipaten Kutanegara. Tidak lama setelah sayembara, Jaka Mruyung
dapat berjumpa dengan Ki Sandi dan Nyai Sandi yang tak lain adalah ayah dan
ibunya. Adipatipun tahu kalau Jaka
Mruyung adalah putera Adipati Munding Wilis dari Galuh Pakuan. Setelah mendengar cerita dari kedua orang
tuanya, Jaka Mruyung pergi ke Bukit Mruyung untuk membalas dendam pada
Abulawang. Abulawangpun mengakui
kesalahannya. Dia tidak tega membunuh
Abulawang karena jasanya yang telah membesarkan Jaka Mruyung. Abulawang dibawanya ke Kadipaten
Kutanegara. Adipati Munding Wilis dan
istrinya memutuskan untuk kembali ke Galuh Pakuan. Jaka Mruyungpun menjadi adipati di
Kutanegara. Pusat pemerintahan Kadipaten
Kutanegara dipindah ke Alas Pakis Aji.
Alas Pakis Aji tersebut kemudian berubah nama menjadi Ajibarang dan Jaka Mruyung menjadi
Adipati Ajibarang yang pertama.
Belajar Sejarah dari Seni Ketoprak
Di hari Minggu pagi, RRI Purwokerto adalah chanel radio
favorit keluarga saya dan hampir semua penduduk kampung. Radio milik pemerintah
ini menyajikan hiburan berupa sandiwara radio daerah yang disebut ketoprak.
Berbeda dengan Jakarta, dimana Ketoprak adalah nama makanan, di kampung saya
ketoprak adalah seni pertunjukan tradisional yang sering menyajikan cerita riwayat
tentang daerah. Contohnya Babad Ajibarang, cerita tentang terbentuknya daerah
bernama Ajibarang dan desa-desa sekitarnya.
Tadinya saya kurang peduli dengan hikayat itu, tapi
karena setiap minggu siang para tetangga ikut memperbincangkan riwayat Ajibarang,
jadilah kisah ini saya ikuti satu demi satu. Saya tidak terlalu hafal soal
riwayat kampung saya, tapi suatu ketika saya menjadi sangat tertarik karena
saya mendengar cerita dari paman saya yang jadi lurah mengisahkan bagaimana
mbah buyut saya ikut merintis membabat hutan menjadi perkampungan.
Seni ketoprak ini bukan hanya saya dengar di radio.
Seni pertunjukan ketoprak juga ada di
kecamatan. Hampir setiap minggu ada pertunjukan ketoprak yang penontonnya
selalu penuh. Saya sering ikut-ikutan nonton pertunjukan ini jika sekolah
sedang libur.
Oya, banyak orang bilang, Pulai Jawa itu sudah maju
dari dulu. Karena berlokasi dekat dengan pemerintahan Pusat. Faktanya tidak
begitu. Contohnya kampung saya ini, yang dulu nyaris terisolir. Untunglah
Jenderal Soerono melakukan gerilya lewat kampung saya, sehingga dim asa saya
SD, pemerintah melakukan kegiatan napak tilas perjuangan rakyat dan mereka
melihat bagaimana tertinggalnya pembangunan di kampung kami. Sejak itulah mulai
dianggarkan pembangunan jalan aspal, dan saluran listrik .
Di saat pembangunan itulah, seni pertunjukan ketoprak,
bioskop dan orkes dangdut yang semula hanya di Kota Purwokerto dan Ajibarang, para
pelaku bisnis hiburan mulai masuk ke kota kecamatan Gumelar.
Kadang sulit saya bayangkan bagaimana jaman dulu orang
berjalan dari daerah pelosok ke pelosok lain dan memutuskan untuk menetap di
sebuah hutan dan membuat pemukiman.
Saya mudah mencerna sebuah cerita tentang kelompok
petualang terdampar di pantai lalu membangun sebuah kota. Namun di buah hutan
belantara ada beberapa orang mendirikan sebuah desa, sulit dimengerti. Itulah kiranya
yang terjadi di kampung saya yang harus menempuh jalan kaki satu hari penuh
untuk menuju kota. Ah tepatnya bukan kota juga, tapi sebuah kecamatan yang
jalannya sudah diaspal, ada toko dan ada listrik. Mungkin saja, di jaman dulu
yang membuka desa ini adalah anggota pasukan kerajaan yang tersesat atau
tertinggal dari pasukannya.
Bagaimanapun saya beruntung dilahirkan di desa terpencil,
karena saya masih bisa menikmati indahnya napak tilas sejarah kerajaan. Di
ujung bukit sana masih ada seorang kakek yang konon pasukan kerajaan Padjadjaran.
Bahasanya sunda. Namun ada juga laskar kerajaan mataram. Ah mungkin juga
Majapahit, atau apalah. Yang jelas ia sangat suka berpakaian ala kerajaan.
Berjalan tegap dan bergaya hidup pasukan kerajaan. Nggak heran kalau di ujung
perbatasan ada sebagian warga yang berbahasa Sunda, dan hanya dengan melompati
sebuah parit, saya sudah masuk di perkampungan Sunda. Namun di sekolah mereka
berbahasa Jawa. Sebuah perpaduan budaya yang sangat unik.
Begitulah hikayat terbentuknya sebuah daerah yang menjadi menarik diceritakan melalui seni panggung dan siaran radio. Ada lagi kisah tentang perjuangan kemerdekaan. Kalau kakek saya bicara soal kerajaan, masa Belanda dan Jepang. Lain lagi Pakde dan paman yang lebih suka bicara soal Jenderal Soedirman. Peristiwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya di Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya, tapi juga di desa saya.
Tadinya saya berpikir Jenderal Soedirman itu tokoh
dari kalangan kerajaan. Rupanya tidak. Ia adalah rakyat biasa. Seorang guru SMP
di Cilacap, tetangga Kabupaten, yang melamar menjadi tentara PETA bikinan
Jepang dan sukses berkarir. Ia biasa dikawal oleh letkol Isdiman, yang juga
dikenal sebagai pahlawan nasional.
Cerita tentang Soedirman sangat menginspirasi saya
soal kepemimpinan kaum muda dan ketegasan bersikap ketika di masa yang sulit
menghadapi pilihan. Jika teman-teman seusia saya di daerah lain belajar sejarah
hanya berdasarkan hafalan, saya dapat belajar langsung dari para pelaku
sejarah. Guru sejarah di SMA adalah mantan tentara pelajar yang ikut dalam
pergolakan. Bahkan bangunan tua SMA 1 Purwokerto juga bagian dari sejarah itu.
“Soedirman menjadi jenderal pada usia muda 29 tahun.
Ia sangat ditakuti belanda,” kata guru sejarah saya, Isran. Ia bukan orang
jauh, ia ada di kabupaten Purbalingga, tetangga kita.
“Hebat juga yang orang kampung bisa jadi jenderal di
usia muda,” guman saya dalam batin.
“Itulah jaman revolusi. Ketika Indonesia dalam keadaan
terjepit menghadapi musuh, ada satu orang mengambil sikap tegas, hingga sebagian
besar masyarakat mengikutinya,” guru saya berkisah di kelas. Terasa sekali apa
yang disampaikan bukan kisah sejarah dari referensi buku melainkan bercerita tentang
apa yang ia lihat dan rasakan. Sangat menjiwai dan langsung masuk ke ingatan
saya.
“Coba kita perhatikan,” lanjut guru. “Indonesia merdeka 17 agustus 1945. Belum ada
pengakuan resmi dari manapun. Lantas bulan Nopember Inggris dibonceng Belanda
menyerang Surabaya. Sepanjang lima tahun sejak kemerdekaan adalah masa perang mempertahankan
kemerdekaan yang menjadi pertaruhan apakah benar Indonesia bisa menghadapi
musuh yang sangat kuat. Bisa jadi Indonesia adalah satu-satunya negara yang mengalai
proses kemerdekaan yang sangat berat.
Presiden Soekarno beserta kabinetnya berunding dengan
berbagai macam strateginya. Sampai akhirnya ada kesepakatan membentuk negara
serikat. Inilah awal Soedirman menyatakan sikap. “Merdeka tidak ada
setengah-setengah. Merdeka harus 100%,” kata guru saya seakan menirukan
Soedirman. Ia berkata dengan nada lantang dan bergetar, sambil matanya
berkaca-kaca. Kami semua terdiam, mencoba ikut merasakan gelora semangat
mempertahankan kemerdekaan.
Konon, kata-kata Soedirman tentang “merdeka 100
persen” itulah yang kemudian memotivasi para pejuang menjadi gagah berani , tak
sudi penjajah Belanda kembali menguasai Indonesia. Teriakan“maju terus pantang mundur” yang
digelorakan Soedirman terdengar dimana-mana. Di saat itulah Belanda menjadi
tampak bodoh meski berperang dengan persenjataan dan pasukan yang lengkap,
bahkan didukung oleh pasukan orang-orang pribumi bayaran.
Sulit diterima akal sehat, Pasukan Belanda akhirnya
menyerah dan mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1949.
Dan sejarah mencatat, Jenderal Soedirman dalam keadaan
sakit paru-paru memimpin perang gerilya. Dari Jateng hingga Jatim, dengan
ditandu. Ini untuk membuktikan perlawanan rakyat Indonesia. Belanda dibuat
kocar-kacir untuk mengejar Soedirman.
Saat itu kami baru paham kenapa nama soedirman
diabadikan di jalan raya di hampir setiap kota di Indonesia. Dan tak jauh dari
sekolah saya ada Universitas Jenderal Soedirman sebagai sebuah penghargaan
untuk sang Jenderal.
Kisah Soedirman
adalah pengorbanan yang tak sia-sia untuk negeri yang dicintai dan dikasihi.
***
0 komentar:
Posting Komentar