Minggu, 10 Januari 2016

Seraut Wajah Pejuang



…………………………………….
Pengorbanan yang tak sia-sia
untuk negeri yang dicintai, dikasihi.
Tangan dan kaki rela kau serahkan
Darah, keringat rela kau cucurkan
Bukan hanya untuk ukir namamu
Ikhlas demi langit bumi
bersumpah mempertahankan setiap jengkal tanah
(Seraut Wajah, Ebiet G Ade)


Alkisah, di jaman dahulu ketika negeri bernama Indonesia belum lahir, Kerajaan Galuh Pakuan (Padjadjaran) yang dipimpin oleh Adipati Munding Wilis sempat dilanda kekeringan besar.  Kerajaan Padjadjaran adalah kerajaan yang sangat terkenal di wilayah yang sekarang dikenal Jawa Barat. Waktu itu warga negeri Padjadajaran hidup dalam kesulitan. 

Dalam keadaan seperti itu, istri Adipati Munding Wilis yang sedang hamil meminta untuk dicarikan daging kijang berkaki putih.  Adipati pun tidak dapat menolak permintaan istrinya yang sedang hamil itu.  Segera saja sang Adipati pergi ke hutan bersama para punggawanya.  Dia menaiki kuda yang bernama Dawuk Mruyung.  Telah lama dicari,  kijang berkaki putihpun tak juga ditemui.  Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah perkampungan para perampok.

Kampung perampok itu dipimpin oleh Abulawang.  Setelah mengetahui dari anak buahnya bahwa yang datang adalah Adipati Munding Wililis beserta punggawanya yang membawa bekal banyak, gembong perampok itu segera menyiapkan pasukan.  Mereka hendak merampas bekal sang Adipati.  Dan, perangpun terjadi antara pasukan Adipati dan pasukan Abulawang.  Perang tersebut dimenangkan oleh kawanan perampok Abulawang.  Adipati dan punggawanya diperkenankan pulang ke Kadipaten Galuh.  Sang Adipati pulang dengan berjalan kaki karena kuda miliknya juga ditawan.  Perampok Abulawang sangat puas mendapatkan harta rampasan yang berlimpah.

           
Setibanya di kadipaten, dalam kondisi badan yang sangat lelah, sang Adipati segera menemui istrinya dan melaporkan kejadian yang dialaminya selama perjalanan mencari kijang berkaki putih yang tidak dapat ia temukan.  Segera saja kesedihannya berubah menjadi kebahagiaan.  Istrinya telah melahirkan seorang putera yang tampan.  Anak itu memiliki tanda lahir di lengan kanannya berupa belong “toh Wisnu”. 

Namun, suka cita itu  tidak lama mereka rasakan.  Tiba-tiba perampok Abulawang beserta seluruh pasukannya datang menyerang Kadipaten Galuh Pakuan.  Kadipaten porak poranda.  Semua harta ludes dirampok oleh Abulawang.  Putera sang Adipati yang baru berusia empat hari dibawanya.  Adipati dan istrinya kebingungan.  Akhirnya mereka dibantu oleh Ki Juru Taman, pembantu kadipaten untuk mencari puteranya di setiap sudut kadipaten. 

Untunglah, ada yang memberi tahu bahwa putera mereka dibawa oleh Abulawang.  Keduanyapun memutuskan untuk pergi mencari puteranya.  Dengan berpakaian seperti rakyat biasa, mereka mengubah nama menjadi Ki Sandi dan Nyai Sandi. Perjuangan yang tidak mudah.

Di Bukit Mruyung, Abulawang dan istrinya merasa bahagia.  Selain mendapat harta, mereka juga mendapat seorang anak yang merupakan anak seorang adipati.  Telah lama mereka menginginkan seorang anak.  Abulawang dan istrinya mengangkatnya menjadi anak dan memberinya nama Jaka Mruyung.

Tumbuhlah Jaka Mruyung menjadi semakin dewasa.  Pernah suatu ketika dia mendapat pesan dari Abulawang untuk tidak keluar dari daerah Mruyung.  Namun, keinginannya dan kebosanannya membuat dia ingin mengelana.  Jaka Mruyung pergi tanpa pamit.  Dia mengendarai Dadung Awuk, kuda yang pernah dirampas dari Adipati Munding Wilis.  Anak buah Abulawang yang mengetahui segera mengejar Jaka Mruyung.  Namun, Jaka Mruyung tidak dapat terkejar.

Jaka Mruyung pergi ke timur melewati hutan-hutan.  Hingga akhirnya dia menemukan sebuah rumah kecil.  Dia lalu mampir ke rumah itu.  Rumah itu ternyata milik Ki Mranggi, bekas prajurit Majapahit.  Dengan senang hati Ki Mranggi menerima kedatangan Jaka Mruyung.  Jaka mruyungpun ditawarinya untuk tinggal menetap di sana.  Dia dianggap sebagai cucu Ki Mranggi.  Oleh Ki Mranggi, dia diajari membaca, menulis, olah keprajuritan, bela diri, dan ilmu kanuragan.  Setelah dirasa ilmunya mencukupi, Jaka Mruyung diijinkan melanjutkan pengembaraannya.  Atas petunjuk Ki Mranggi, Jaka Mruyung disuruh pergi ke timur mencari hutan besar bernama Alas Pakis Aji.  Jaka Mruyung segera berpamitan.  Dia berpesan agar desa tempat Ki Mranggi itu dinamakan Desa Panulisan, desa tempat dirinya belajar baca tulis.

Berhari-hari Jaka Mruyung melakukan perjalanannya.  Dia beristirahat disebuah padang rumput yang luas.  Kemudian daerah itu dinamakan Gumelar, artinya sesuatu yang luas, yang kini menjadi nama sebuah kecamatan.  Di kecamatan inilah adalah desa Telaga Warna, desa tempat saya lahir yang berbatasan dengan kabupaten Cilacap.

Jaka  Mruyung melanjutkan perjalanannya.  Di tengah perjalanan ia bertemu seorang pemuda yang bernama Tlangkas.  Tlangkas memberitahu bahwa Alas Pakis Aji sudah dekat, di sisi barat Kadipaten Kutanegara.

Diceritakan bahwa pada saat itu Ki Sandi dan Nyai Sandi sudah sampai di rumah Ki Mranggi.  Dia mencari tahu keberadaan puteranya.  Dengan diberi tahu tanda lahirnya, Ki Mranggipun mengetahui bahwa itu adalah Jaka Mruyung.  Ki Mranggi mengatakan bahwa Jaka Mruyung sedang dalam perjalanan menuju Alas Pakis Aji.  Segera saja mereka pamit dan menyusul Jaka Mruyung.  Dalam perjalanannya yang melelahkan, mereka beristirahat di tepi sungai yang airnya bening dan kemracak (gemercik).  Maka, daerah itu dinamakan Desa Kracak.  Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan orang yang berbahasa Sunda.  Dia membawa buah gondang amis yang artinya buah gondang manis.  Maka, daerah tersebut dinamakan Desa Gondangamis.

Sampailah Jaka Mruyung di pinggir Alas Pakis Aji.  Dia beristirahat di sebuah tempat yang banyak burung jalaknya dan tempat itupun diberi nama Pejalakan.  Setelah beristirahat, Jaka Mruyung masuk ke Alas Pakis Aji.  Sampailah dia di Kali Datar (nama sebuah sungai di Ajibarang, Banyumas).  Di sana dia menjumpai sebuah kedung yang banyak burung serwitinya.  Tempat itupun akhirnya bernama Kedung Serwiti.  Segera saja dia membabat hutan itu.  Di tengah dia membabat hutan, dia melihat beberapa orang sedang membuat tambak ikan.  Jaka Mruyung mendekati mereka dan meminta mereka membantunya membabat hutan.  Mereka menyanggupinya.

Saat membabat hutan, Jaka Mruyung bertemu dengan ular besar.  Dengan kesaktiannya, dia menangkap ular itu dan dibunuhnya.  Ular tersebut kemudian dibakar.  Api pembakaran itu kemudian merambat hingga membakar seluruh Alas Pakis Aji.  Kebakaran itupun diketahui oleh Adipati Nglangak penguasa Kadipaten Kutanegara.  Adipati marah.  Dia memerintahkan menangkap orang yang telah membakar Alas Pakis Aji.  Jaka Mruyungpun dapat ditangkap dan ditahan di Kadipaten Kutanegara.  Tidak lama kemudian dia dibebaskan.

Adipati Nglangak  memiliki tiga orang anak perempuan, yaitu Dewi Pandansari, Dewi Pandanayu, dan Dewi Rantansari.  Mereka bertiga juga merupakan senapati wanita di kadipaten itu.  Suatu hari, Kadipaten Kutanegara hendak mencari seorang senapati lewat sayembara.  Jaka Mruyungpun ikut serta dalam sayembara itu.  Dalam pertandingan akhir, Jaka Mruyung dapat mengalahkan kesaktian Ki Kentol Ireng.  Atas kemenangan itu ia diangkat menjadi Senapati Kadipaten Kutanegara dan dinikahkan dengan Dewi Pandanayu.

Pada akhirnya, Jaka Mruyung dapat menggantikan kedudukan Adipati Nglangak menjadi pemimpin Kadipaten Kutanegara.  Tidak lama setelah sayembara, Jaka Mruyung dapat berjumpa dengan Ki Sandi dan Nyai Sandi yang tak lain adalah ayah dan ibunya.  Adipatipun tahu kalau Jaka Mruyung adalah putera Adipati Munding Wilis dari Galuh Pakuan.  Setelah mendengar cerita dari kedua orang tuanya, Jaka Mruyung pergi ke Bukit Mruyung untuk membalas dendam pada Abulawang.  Abulawangpun mengakui kesalahannya.  Dia tidak tega membunuh Abulawang karena jasanya yang telah membesarkan Jaka Mruyung.  Abulawang dibawanya ke Kadipaten Kutanegara.  Adipati Munding Wilis dan istrinya memutuskan untuk kembali ke Galuh Pakuan.  Jaka Mruyungpun menjadi adipati di Kutanegara.  Pusat pemerintahan Kadipaten Kutanegara dipindah ke Alas Pakis Aji.  Alas Pakis Aji tersebut kemudian berubah nama menjadi Ajibarang dan Jaka Mruyung menjadi Adipati Ajibarang yang pertama.

Belajar  Sejarah dari Seni Ketoprak

Di hari Minggu pagi, RRI Purwokerto adalah chanel radio favorit keluarga saya dan hampir semua penduduk kampung. Radio milik pemerintah ini menyajikan hiburan berupa sandiwara radio daerah yang disebut ketoprak. Berbeda dengan Jakarta, dimana Ketoprak adalah nama makanan, di kampung saya ketoprak adalah seni pertunjukan tradisional yang sering menyajikan cerita riwayat tentang daerah. Contohnya Babad Ajibarang, cerita tentang terbentuknya daerah bernama Ajibarang dan desa-desa sekitarnya.

Tadinya saya kurang peduli dengan hikayat itu, tapi karena setiap minggu siang para tetangga ikut memperbincangkan riwayat Ajibarang, jadilah kisah ini saya ikuti satu demi satu. Saya tidak terlalu hafal soal riwayat kampung saya, tapi suatu ketika saya menjadi sangat tertarik karena saya mendengar cerita dari paman saya yang jadi lurah mengisahkan bagaimana mbah buyut saya ikut merintis membabat hutan menjadi perkampungan.

Seni ketoprak ini bukan hanya saya dengar di radio. Seni pertunjukan ketoprak juga ada  di kecamatan. Hampir setiap minggu ada pertunjukan ketoprak yang penontonnya selalu penuh. Saya sering ikut-ikutan nonton pertunjukan ini jika sekolah sedang libur.

Oya, banyak orang bilang, Pulai Jawa itu sudah maju dari dulu. Karena berlokasi dekat dengan pemerintahan Pusat. Faktanya tidak begitu. Contohnya kampung saya ini, yang dulu nyaris terisolir. Untunglah Jenderal Soerono melakukan gerilya lewat kampung saya, sehingga dim asa saya SD, pemerintah melakukan kegiatan napak tilas perjuangan rakyat dan mereka melihat bagaimana tertinggalnya pembangunan di kampung kami. Sejak itulah mulai dianggarkan pembangunan jalan aspal, dan saluran listrik .

Di saat pembangunan itulah, seni pertunjukan ketoprak, bioskop dan orkes dangdut yang semula hanya di Kota Purwokerto dan Ajibarang, para pelaku bisnis hiburan mulai masuk ke kota kecamatan Gumelar.

Kadang sulit saya bayangkan bagaimana jaman dulu orang berjalan dari daerah pelosok ke pelosok lain dan memutuskan untuk menetap di sebuah hutan dan membuat pemukiman.

Saya mudah mencerna sebuah cerita tentang kelompok petualang terdampar di pantai lalu membangun sebuah kota. Namun di buah hutan belantara ada beberapa orang mendirikan sebuah desa, sulit dimengerti. Itulah kiranya yang terjadi di kampung saya yang harus menempuh jalan kaki satu hari penuh untuk menuju kota. Ah tepatnya bukan kota juga, tapi sebuah kecamatan yang jalannya sudah diaspal, ada toko dan ada listrik. Mungkin saja, di jaman dulu yang membuka desa ini adalah anggota pasukan kerajaan yang tersesat atau tertinggal dari pasukannya.

Bagaimanapun saya beruntung dilahirkan di desa terpencil, karena saya masih bisa menikmati indahnya napak tilas sejarah kerajaan. Di ujung bukit sana masih ada seorang kakek yang konon pasukan kerajaan Padjadjaran. Bahasanya sunda. Namun ada juga laskar kerajaan mataram. Ah mungkin juga Majapahit, atau apalah. Yang jelas ia sangat suka berpakaian ala kerajaan. Berjalan tegap dan bergaya hidup pasukan kerajaan. Nggak heran kalau di ujung perbatasan ada sebagian warga yang berbahasa Sunda, dan hanya dengan melompati sebuah parit, saya sudah masuk di perkampungan Sunda. Namun di sekolah mereka berbahasa Jawa. Sebuah perpaduan budaya yang sangat unik.

Seraut Wajah Pejuang

Begitulah hikayat terbentuknya sebuah daerah yang menjadi menarik diceritakan melalui seni panggung dan siaran radio. Ada lagi kisah tentang perjuangan kemerdekaan. Kalau kakek saya bicara soal kerajaan, masa Belanda dan Jepang. Lain lagi Pakde dan paman yang lebih suka bicara soal Jenderal Soedirman. Peristiwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya di Jakarta, Bandung, Surabaya dan  kota besar lainnya, tapi juga di desa saya.

Tadinya saya berpikir Jenderal Soedirman itu tokoh dari kalangan kerajaan. Rupanya tidak. Ia adalah rakyat biasa. Seorang guru SMP di Cilacap, tetangga Kabupaten, yang melamar menjadi tentara PETA bikinan Jepang dan sukses berkarir. Ia biasa dikawal oleh letkol Isdiman, yang juga dikenal sebagai pahlawan nasional.

Cerita tentang Soedirman sangat menginspirasi saya soal kepemimpinan kaum muda dan ketegasan bersikap ketika di masa yang sulit menghadapi pilihan. Jika teman-teman seusia saya di daerah lain belajar sejarah hanya berdasarkan hafalan, saya dapat belajar langsung dari para pelaku sejarah. Guru sejarah di SMA adalah mantan tentara pelajar yang ikut dalam pergolakan. Bahkan bangunan tua SMA 1 Purwokerto juga bagian dari sejarah itu.

“Soedirman menjadi jenderal pada usia muda 29 tahun. Ia sangat ditakuti belanda,” kata guru sejarah saya, Isran. Ia bukan orang jauh, ia ada di kabupaten Purbalingga, tetangga kita.
“Hebat juga yang orang kampung bisa jadi jenderal di usia muda,” guman saya dalam batin.

“Itulah jaman revolusi. Ketika Indonesia dalam keadaan terjepit menghadapi musuh, ada satu orang mengambil sikap tegas, hingga sebagian besar masyarakat mengikutinya,” guru saya berkisah di kelas. Terasa sekali apa yang disampaikan bukan kisah sejarah dari referensi buku melainkan bercerita tentang apa yang ia lihat dan rasakan. Sangat menjiwai dan langsung masuk ke ingatan saya.

“Coba kita perhatikan,” lanjut guru.  “Indonesia merdeka 17 agustus 1945. Belum ada pengakuan resmi dari manapun. Lantas bulan Nopember Inggris dibonceng Belanda menyerang Surabaya. Sepanjang lima tahun sejak kemerdekaan adalah masa perang mempertahankan kemerdekaan yang menjadi pertaruhan apakah benar Indonesia bisa menghadapi musuh yang sangat kuat. Bisa jadi Indonesia adalah satu-satunya negara yang mengalai proses kemerdekaan yang sangat berat.

Presiden Soekarno beserta kabinetnya berunding dengan berbagai macam strateginya. Sampai akhirnya ada kesepakatan membentuk negara serikat. Inilah awal Soedirman menyatakan sikap. “Merdeka tidak ada setengah-setengah. Merdeka harus 100%,” kata guru saya seakan menirukan Soedirman. Ia berkata dengan nada lantang dan bergetar, sambil matanya berkaca-kaca. Kami semua terdiam, mencoba ikut merasakan gelora semangat mempertahankan kemerdekaan.

Konon, kata-kata Soedirman tentang “merdeka 100 persen” itulah yang kemudian memotivasi para pejuang menjadi gagah berani , tak sudi penjajah Belanda kembali menguasai Indonesia.  Teriakan“maju terus pantang mundur” yang digelorakan Soedirman terdengar dimana-mana. Di saat itulah Belanda menjadi tampak bodoh meski berperang dengan persenjataan dan pasukan yang lengkap, bahkan didukung oleh pasukan orang-orang pribumi bayaran.

Sulit diterima akal sehat, Pasukan Belanda akhirnya menyerah dan mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1949.

Dan sejarah mencatat, Jenderal Soedirman dalam keadaan sakit paru-paru memimpin perang gerilya. Dari Jateng hingga Jatim, dengan ditandu. Ini untuk membuktikan perlawanan rakyat Indonesia. Belanda dibuat kocar-kacir untuk mengejar Soedirman.

Saat itu kami baru paham kenapa nama soedirman diabadikan di jalan raya di hampir setiap kota di Indonesia. Dan tak jauh dari sekolah saya ada Universitas Jenderal Soedirman sebagai sebuah penghargaan untuk sang Jenderal.
Kisah Soedirman adalah pengorbanan yang tak sia-sia untuk negeri yang dicintai dan dikasihi.
***

0 komentar:

Posting Komentar