Sabtu, 20 Juni 2015

SUATU HARI DI TAHUN 1985


"Maaf kan aku Bram..," Camellia tidak melanjutkan kalimatnya.
Matanya berkaca-kaca. Ia melihatku sejenak, kemudian menengok ke samping, matanya yang agak sipit dengan bulu matanya yang lentik mengarah keluar jendela. Tampak kegelisahan mendera tubuhnya.
Gelas es jeruk kesukaannya yang tinggal terisi setengah, agak bergoyang sedikit karena tangan Lia yang tidak tenang di atas meja. Hampir saja ia menumpahkannya, ketika ia bermaksud mengambilnya untuk mencoba kembali menikmatinya.

Aku tahu, ia tidak sedang menikmati es jeruk. Ia hanya ingin sedikit lebih tenang. Bibirnya mencoba tersenyum semanis mungkin, meski tak bisa menyembunyikan kegalauannya.

Sementara aku, yang duduk di hadapannya berusaha untuk tidak lagi berharap sesuatu darinya. Sesuatu yang sejatinya akan membuat aku belajar jadi lelaki dewasa. 
Aku mestinya mencoba berperan seperti Galih yang berhadapan dengan Ratna di film Gita Cinta Dari SMA yang dibintangi Rano Karno dan Yessi Gusman, yang sangat populer di era tahun 1980an itu. Faktanya  tidak demikian. Hmmm, ini memang bukan film. Hidup ini tidak perlu berharap seperti cerita film, bahkan dunia nyata biasanya bertolak belakang dengan cerita film.



Pukul 4 sore ini mestinya aku  sudah di rumah kost, tapi kali ini dan beberapa hari ke depan aku harus banyak berada di sekolah. Aku tak bisa menghindar dari kegiatan kepanitiaan acara perpisahan sekolah.  Lia dipercaya sebagai bendahara, aku ikut di seksi acara.
Tepatnya, aku sengaja tak menghindar dari penunjukkan ketua kelas agar ikut sebagai panitia, karena pada momen inilah aku dapat lebih banyak berinteraksi dengan Lia di luar kelas. Hanya beberapa bulan lagi, aku sudah pensiun sebagai pemakai seragam putih abu-abu. Ini adalah detik-detik penentuan masa depan. Bukan hanya masa depanku kelak dalam berkarir tapi juga masa depanku bersama gadis yang kini di hadapanku

Dan itu sebabnya, aku perlu memastikan untuk tidak bertindak bodoh terhadap masa depanku.
Beberapa hari lalu, teman kostku Pras bicara, "hari-hari ini adalah hari penentuan masa depan".
Kata-kata Pras diucapkan pada saat yang tepat, di tengah heningnya malam dan pada saat galau pikiranku tengah bertanya-tanya tentang seperti apa wajah masa depanku.
Minggu lalu wali kelas mengatakan kalimat yang sama, tapi belum meresap ke dalam hati.

Yang diucapkan Wali Kelas maupun Pras adalah masa depan karir, yang saya pikirkan adalah masa dengan hubunganku dengan lia, dan juga masa depan karir.

"Rencana mau mendaftar kuliah dimana Bram?" Lia mencoba mengalihkan pembicaraan. Pertanyaan ini hampir saja aku ucapkan ke Lia untuk memecahkan kesunyian, ternyata Lia lebih dulu menanyakan.
"Aku belum punya pilihan yang tepat," kataku singkat sembari mencoba tersenyum.
"Lia pasti sudah punya pilihan ya?"aku balik bertanya untuk memastikan.
"Belum juga, tapi orang tuaku ingin aku tetap kuliah di sini, jangan keluar kota. Bram tahu sendiri kan?"

Inilah saatnya aku paham tentang tidak sederhannya menentukan dan meraih cita-cita. Waktu SD dulu cita-cita itu hanya soal pengucapan, soal afirmasi saja. Ada yang ingin jadi dokter, insinyur, TNI, Polisi atau apapun bisa diucapkan. Begitu aku SMP, cita-citaku tentang profesi apa yang akan digeluti sudah tak penting lagi. Bahkan sebagian sudah tak lagi memikirkan cita-cita. Aku yang sempat bercita-cita jadi dokter dan guru, sudah tak lagi memikirkannya. Aku telah mencatat cita-citaku menjadi cita-cita ingin ke negeri Paman Sam.

Dan kini, ketika menentukan akan kuliah dimana, bukan lagi hanya masalah kecerdasan, melainkan ada soal lain yang mesti jadi bahan pertimbangan. Lia, misalnya , karena anak tunggal, ia nggak mau berpisah dengan orang tuanya. Lebih tepatnya, orang tuanya berkehendak kuliah di kota ini agar tetap satu atap hidup bersama orang tuanya. Ada pula Toni, teman kost yang diminta orang tuaya kelak setelah lulus langsung ke Jakarta, karena sudah akan dititipkan kepada pamannya untuk bekerja ataupun kuliah di ibu kota.

"Aku merasa nggak penting kuliah dimana, yang penting kelak cita-citaku negeri Paman Sam tercapai," tiba-tiba aku membuka rahasia soal cita-cita yang selama ini aku simpan saja di catatan harianku, oh bukan catatan harian berupa buku, tapi catatan di pikiran.

"Negeri Paman Sam? Amerika maksudmu?" wajah Lia  kelihatan berubah, sepertinya kaget. Senyum yang dari tadi hilang, kini mengembang disertai wajah yang cerah , mata berbinar. Bisa jadi dia nggak menyangka orang udik sepertiku punya cita-cita tinggi. Suasana serius dan serba gugup seketika hilang, berubah menjadi santai.

"Iya. Kenapa? " aku mencoba percaya diri.
"Hebat kamu Bram. Gini lho, aku baru saja baca artikel tentang Paman Sam. Kamu udah tahu belum kenapa AS dijuluki negeri Paman Sam?"

Dadaku terasa lega dan sedikit membusung mendengar pujian "hebat" dari Lia. Sekaligus kaget dengan pertanyaannya. Iya, kenapa selama ini aku nggak pernah mencari informasi soal julukan negeri Paman Sam? Bukankah itu sangat penting bagiku?

"Aku belum tahu Lia. Tolong kasih tahu dong, supaya aku nggak kelihatan bodoh hehehe," aku merespon sebisanya.
"heee enak aja , harusnya kamu lebih tahu dong," ia ngeledek. Suasanna jadi benar-benar cair.

Lia lalu menceritakan soal paman Sam. Setelah itu meminjamiku majalah Tempo yang memuat artikel soal asal usul julukan Paman Sam. "Kamu baca lebih detail di majalah ini ya? Siapa tahu aku juga bisa ke AS," tambahnya, menyungging senyum.

"Paman Sam, itu nama lengkapnya Uncle Samuel, yang disingkat US, singkatan yang sama dengan United States," Lia menguraikan asal usul julukan Paman Sam.

Sebagaimana ditulis di majalah itu, kisah Paman Sam adalah kisah keteladanan Samuel Wilson, yang lahir di Arlington, 13 September 1766. Pada usia 14 tahun, ia menjadi sukarelawan pejuang bagi negaranya. Setelah dewasa, ia membuka usaha kemasan daging di New York. Ia menyuplai daging bagi tentara AS dalam Perang 1812.

Pada tahun 1812 jumlah barang untuk tentara dibeli di Troy, NY, oleh Elbert Anderson, seorang kontraktor pemerintah. Barang diperiksa oleh dua bersaudara, Ebenezer dan Samuel Wilson. Samuel Wilson sering dipanggil  "Uncle Sam” oleh temannya. Setiap paket ditandai inisial E.A.-U.S. Pada saat dimintai arti inisial ini, pekerja yang bercanda menjawab bahwa EA adalah Elbert Anderson dan US adalah Paman Sam yang seharusnya adalah United States. Jadi judul menjadi populer di kalangan para pekerja, tentara, dan orang-orang, dan Pemerintah Amerika Serikat sekarang dikenal sebagai “Paman Sam”

Kisah diatas akhirnya di tulis dalam sebuah koran. Pada 1860-an dan 1870-an, kartunis politis Thomas Nast mulai mempopulerkan gambar Paman Sam. Nast mengembangkan gambar tersebut dengan memberikan Paman Sam janggut putih dan pakaian yang bermotifkan bintang dan garis. Nast juga-lah yang menciptakan citra Sinterklas dan gajah sebagai simbol Partai Republik. Pada September 1961 Kongres AS mengakui Samuel Wilson sebagai cikal bakal simbol nasional Amerika.

Paman Sam Wilson dianggap sebagai tokoh teladan tentang seorang wiraswasta yang suka bekerja keras dan cinta kepada tanah airnya. Wilson wafat di usia 88 tahun pada 1854 dan dimakamkan di Pemakaman Oakwood di Troy, New York. Kota itu mendapat sebutan ‘Rumah Paman Sam.’ Akhirnya , nama Paman Sam secara resmi dipakai untuk julukan negara Amerika. Orang-orang Amerika sekarang bangga dengan julukan dan citra yang dimiliki Paman Sam.

"Makasih banget ya, aku benar-benar baru tahu soal Paman Sam," kataku jujur.
"Aku juga punya cita-cita ingin ke AS kok, makanya aku baca artikel itu"
"Oya? ternyata sama ya? Ya mudah-mudahan  kita bisa mencapainya. Siapa tahu ketemu disana..." jawabku.

"Ya, siapa tahu malah bareng ke sana," kalimat terakhir ini, disertai senyum yang sangat indah dan menjadi sangat menggetarkan. Aku tidak tahu, pertanda apa kalimat terakhir ini. Aku tidak berani merespon dengan harapan bareng dalam pengertian sebagai pasangan. Karena hanya beberapa menit lalu, ia meminta maaf untuk tidak bicara soal kehendak untuk bersatu.

"Iya segalanya jadi mungkin." jawabku. Kali ini aku benar-benar merasa jadi lelaki yang berani. Tidaklah mudah orang sepertiku bisa duduk berdua untuk berbicara serius dengan seorang gadis cantik. Aku telah mengalaminya, dengan Lia.

"Pembicaraan yang tadi lupakan saja, ya Bram..." Lia menggeser tempat duduk dan menyudahi perbincangan sore hari itu. Aku menyetujuinya dengan kata singkat "Iya", sambil menganggukkan kepala dua kali.  Lantas ia pamit pulang.

Sore itu menjadi sore yang bersejarah. Bagaimana bisa ketika aku menceritakan soal cita-cita ke Amerika, Lia baru saja membaca artikel Paman Sam?  Ya Tuhan, apakah Engkau mengirim gadis cantik ini untukku?

Setelah berbulan-bulan memendam perasaan, sore itu aku memberanikan diri mengajak ngobrol berdua di sebuah warung makan yang jaraknya hanya 50 meter dari sekolah, usai acara rapat panitia perpisahan. Sulit sekali bagiku untuk menyatakan keseriusan hubungan. Namun aku harus mengungkapkannya.
Dan sore itu, ketika aku mencoba bicara, ia berkata singkat.
"Sebaiknya kita tidak bicara itu dulu. Maafkan aku Bram,"
Sore itu adalah 8 Juni 1985. Aku mencatatnya.

(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar