Selasa, 02 Juni 2015

TRAUMA TELUR ASIN DAN REJEKI SI BODOH



Namanya Anang Sambodo.  Ia mempopulerkan diri dengan nama Anang Sam. Saya mengenalnya tahun 2006, saat dimana saya sedang berusaha mengembangkan komunitas wirausaha. Di komunitas ini saya ingin berperan mengembangkan kewirausahaan di Indonesia, melalui kegiatan sharing pengalaman, training, seminar, mentoring  dan pertemuan-pertemuan lainnya.

Pada saat saya bertemu , rupanya dia baru pulih dari "trauma telur asin". Ia seperti baru kambali dari keterasingan dan kembali ke bumi beradab. Untunglah, ia menemukan pergaulan komunitas yang dapat mensupportnya dengan baik. Kisah trauma telur asin justru menjadi pelajaran hidup buat dirinya dan buat banyak orang, termasuk saya.


Trauma telur asin bukan kisah percintaan, bukan juga soal kuliner. Cerita dimulai di awal tahun 2000an, dimana Anang Sam yang seorang perantau dari Ponorogo Jawa Timur mengalami kebangkrutan di Jakarta. Bukan dari sebuah bisnis besar melainkan hanya usaha produksi telur asin. Sebagai pelaku bisnis yang sangat pemula, kehancuran bisnis sangat menjengkelkan. “Sampai aku mengalami trauma, setiap melihat telur asin, rasanya mau muntah,” ujarnya terus terang.
Setiap masuk warung makan, ia menghindar jika ada sajian telur asin. "Bentuk telur asin sangat menyebalkan," katanya.

Hari itu di sebuah kampus di kawasan Jakarta Timur, Anang sedang mempresentasikan pengalaman usahanya di depan beberapa kawan. Aku mencoba menyimaknya baik-baik. Ia berkisah dengan penuh semangat dan diselingi derai tawa, meskipun yang diceritakan sebuah kisah yang baginya sangat menjengkelkan.

Begini ceritanya, waktu itu ia belajar bisnis dimulai dengan menjadi pemasok telur asin ke warung-warung di pinggir jalan kota Jakarta. Sumber telur asin didapat dari Kota Karawang. Banyaknya pembangunan gedung perkantoran dan pabrik di Jakarta membuat usaha telur asinnya semakin laris. Dengan semakin banyaknya order, dia melihat peluang membuat sendiri telur asin tersebut.  Dia pikir, daripada harus jadi agen lebih baik memproduksi sendiri saja. “Kan untungnya lebih besar”, begitu pikirnya dengan nada optimis.

Ternyata karena pengalaman memproduksi telur asin belum ada, terjadilah pengalaman yang memilukan itu. Hampir semua telur asin yang ia produksi busuk. Dan habislah riwayat bisnis telur asin dengan “bonus” menanggung hutang kepada pemasok.

Ia terpaksa "kembali ke jalan yang benar" yaitu melamar sebagai karyawan. Uang hasil bekerja dipakai untuk menemuhi kebutuhan pokok dan membayar hutang. Dapat dibayangkan betapa beratnya.

Dalam situasi hidup yang serba minus ini, ia mengalami trauma setiap mendengar kata "telur asin" apalagi melihat bentuk telur asin. Ia pantang masuk ke warteg yang biasanya men"display" telur asin di lemari kaca. Kalau Anda belum pernah masuk warteg, saya jelaskan begini. Warteg itu warung yang umumnya berukuran kecil. Luasnya sekitar 2x3 meter. Begitu kita masuk, langsung ketemu bangku panjang untuk duduk para pelanggan yang makan. Pelanggan berjejer dan bisa langsung pesan makan nasi dengan lauk yang terlihat jelas di depan mata.

Kalau lagi ramai, pelanggan berjubel, berjejer makan seperti para tentara yang makan siang habis latihan, berderet rapi di bangku panjang dengan menu yang sama. Nasi rames. Tapi pelanggan tidak bisa langsung memegang dan mengambil sendiri lauknya. Ia dihalangi oleh lemari display. Kata teman saya, teknologi layar sentuh awalnya memang dari warteg.

"Coba saja ke Wateg, anda tunjuk saja telur asin dari balik lemari kaca dengan cara menyentuh layar kaca, maka dalam hitungan detik, telur asin langsung pindah ke piring anda, ini teknologi tauch screen kan? hehehe" kata teman yang penggemar warteg, karena murah meriah.

Pantas saja, Anang tidak lagi suka makan di warteg. Anang pusing bukan kepalang, sampai akhirnya ia punya ide menjual jasa kursus bahasa Inggris privat. Saat ide ini muncul mendadak  timbul keraguan di hatinya. “Aku kan nggak pandai bahasa Inggris, jangan-jangan nanti menjadi bahan tertawaan murid saya”.

Setelah dipikir ulang keraguan itu sirna.   Kalau mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak apa susahnya,” pikirnya.  Pikiran ini yang kemudian ia berani membuat keputusan memulai menjual jasa kursus Bahasa Inggris.

Hitung punya hitung, modalnya cuma iklan baris saja. Segera ia pasang iklan baris di sebuah tabloid yang pembacanya kebanyakan wanita . Biayanya hanya Rp. 70 ribu sekali pasang.  Teks iklannya sederhanaPrivat bahasa Inggris hubungi Anang telp :…

Dengan bahasa Inggris pas-pasan ia berani promosi, dengan harapan, muridnya adalah anak-anak yang baru belajar.  Sehari setelah memasang iklan, kekhawatiran timbul lagi.  Bagaimana kalau yang menelepon nanti adalah orang dewasa yang sudah lumayan Bahasa Inggrisnya. Bagaimana kalau anak-anak tapi sudah lumayan pinter dan bandel? “ kekhawatiran makin menjadi.

Dalam situasi yang dipenuhi kekhawatiran ini, ia berdoa, semoga tidak ada yang melihat iklannya. “aku ikhlaskan saja uang saya untuk media pemasang iklan”.

Dan peristiwa itupun terjadi.  Siang itu seorang ibu menelepon.
“Benarkah ini kursus privat Bahasa Inggris?” terdengar suara seorang ibu di ujung telepon

“Ya betul Bu. Putra ibu kelas berapa?” Tanya Anang dengan hati deg-degan.

Bukan buat anak saya. Saya daftar untuk kursus privat untuk saya sendiri”.

Alamak, Anang terkejut bukan main. Apa yang dia khawatirkan menjadi kenyataan. Murid pertamanya adalah seorang ibu, bukan anak-anak sebagaimana ia harapkan.

Agar ibu tersebut tidak jadi kursus, Anang mencoba memberi tarif kursus yang cukup mahal. Eh ternyata dia mau juga. Apa boleh buat, hari itu juga ia langsung mencari sahabatnya yang guru Bahasa Inggris agar ia tidak kelihatan terlalu tolol mengajar kursus privat untuk orang dewasa. Untunglah sang sahabat itu berbaik hati dan ringan tangan membantu Anang yang tengah kebingunan.  Seharian ia belajar bagaimana mengajar privat. Ia diajari mulai dari bagaimana berhadapan dengan siswa baru yang kebetulan orang dewasa, pelajaran apa yang pertama perlu disampaikan, mengatasi rasa khawatir muridnya lebih pintar dan sejumlah kiat mengajar praktis.

Beberapa hari kemudian  tibalah waktunya untuk datang kerumah murid pertamanya. Dengan perasaan deg-degan ia memulai aksinya sebagai guru privat.

Good afternoon mam, this is a picture. In this picture ……..” ia mengajarnya dengan pelan-pelan agar tidak ketahuan bodonya. Sesuai dengan saran rekannya yang guru Bahasa Inggris, ia menjelaskan dengan menggunakan kartu bergambar warna-warni yang menarik perhatian. Sebenarnya kartu bergambar ini diperuntukkan bagi siswa anak-anak, namun tak ada salahnya dicoba buat orang dewasa.

Setelah beberapa saat berlangsung, si Ibu memberi semacam kesan-kesan ke Anang, sang guru privat. “Mas anang ngajarnya enak ya, pelan-pelan jadi lebih ngerti,” ujar  murid pertamanya.

Anang terkejut bukan kepalang campur rasa bahagia tiada tara demi mendengar pujian seorang ibu muda yang cantik.

“Apakah ini sebuah mimpi, Oooo bukan, ini nyata,” batinnya berteriak kegirangan.
 “Alhamdulilah, ternyata orang bodoh juga ada rejekinya. Pengajar yang belum pintar seperti saya punya pangsa pasar tersendiri,” ujarnya sambil tergelak ketika berkisah tentang pengalaman mengajarnya yang tak terlupakan kepada saya di suatu hari.

Benar kata Anang, orang bodoh pun ada rejekinya. Rejeki bukan soal bodoh atau pintar, bukan sola gelar sarjana atau bukan, bukan soal PNS atau swasta. Itu semua adalah soal keputusan Tuhan. Tugas Anang, tugas saya, tugasmu, tugas mereka, tugas semuanya adalah berkarya sebaik-baiknya sesuai kapasitas yang diberikan Tuhan kepada manusia.
...................................(bams)

0 komentar:

Posting Komentar