Selasa, 02 Juni 2015

LAGU UNTUK SEBUAH NAMA

Mengapa jiwaku mesti bergetar
Sedang musik pun manis kudengar
Mungkin karena kulihat lagi
Lentik bulu matamu
Bibirmu dan rambutmu yang kau biarkan
Jatuh berderai di keningmu
Makin mengajakku terpana
Kau goreskan gita cinta
(Lagu Untuk Sebuah Nama, Ebiet G Ade)



Nama itu agak terasa asing di telinga saya Camellia Azizah. Aku kurang paham artinya, tapi mendengar nama itu, pasti dia bukan berasal dari kampungku
Ia baru beberapa bulan pindah dari Jakarta ke Purwokerto. Orang tuanya seorang pejabat bank, yang baru pindah ke kota ini. Wajahnya bening sebagaimana umumnya orang berada. Bedanya, ia tetap tampil sederhana. Aku yang biasa kurang begitu dekat dengan gadis cantik, dan keluarga kaya, menjadi kurang menghiraukan kehadiran siswa baru di kelas ini. Sudah jelas, seperti itulah aku
Ah tapi kadang akuberpikir, mungkin saja saya akan mengalami seperti cerita novel atau film. Cerita pertemuan lelaki biasa dari keluarga biasa dengan gadis cantik orang kaya. “Hahahaha itu cerita novel, bukan kenyataan,”batinku menghibur.

“ Bram, bisa nggak saya minta tolong,” suara seorang gadis mengagetkanku ketika  jam istirahat dimana saya tidak keluar ruangan. Oo ternyata Lia.

“Maksudmu?”  Aku mencoba menenangkan pikiran melihat sesosok gadis yang baru saja hinggap di lamunanku.

“Ini lho matematika tadi, rumusnya gimana kok bisa ketemu angka ini.” Aku coba mencermati pelajaran tadi yang bagiku juga tidak gampang. Maklumlah, aku bukan termasuk anak cerdas untuk pelajaran matematika (aneh juga kenapa dia tanya ke anak yang nggak cerdas ya? hmmm). Untunglah yang dia tanyakan aku tahu jawabannya.

“OO itu kan perhitungan matematika biasa. Nggak pake rumus juga bisa. Aku biasa pakai kalau mengitung hutang piutang warung saya,” terang aku meyakinkan. Ah, aku tak boleh kelihatan bodoh di hadapan gadis cantik, batinku.

“Oya?” Sejenak menampakkan raut muka kaget bercampur senang. Aku menganggukan kepala.
“Iya ini matematika agak rumit, padahal tinggal ditambah dikali dibagi, Gitu aja.”

Ia tersenyum manis sambil mengucapkan terima kasih. Dan kembali ke tempat duduknya yang  hanya dua  baris di depanku. Beberapa detik aku melihat gerakan tubuhnya seakan ingin aku perhatikan.  Harapanku ia berbalik melihatku dengan senyum ketika sudah duduk. Oh, tidak, itu kan di cerita novel. Ini dunia nyata, pasti beda.

Akupun mencoba kembali menenangkan batinku yang barusan menikmati peristiwa langka tapi nyata. Aku coba menatap keluar jendela, dan mencoba sesaat melihat ke depan. Kini kulihat gadis itu sedang meneruskan membuka buku. Ia tidak keluar di jam istirahat.

Hari ini aku merasa sedang mengalami peristiwa luar biasa, yang dari luar tampak sangat biasa. Tampaknya tak ada satu makhlukpun yang akan percaya jika saya mengaku mengalami peristiwa luar biasa. Ini hanya peristiwa seorang gadis menghampiriku dan menanyakan soal matematika. Dimana hebatnya?
Biarlah itu urusan logika. Batinku berbicara, inilah awal sebuah cerita panjang. Mungkin saja seperti cerita film atau novel best seller. Atau akan menjadi cerita yang datar tanpa makna. Biarlah itu semua terjadi. Saya tetap akan mencatatnya. 
Aku ingin persahabatan dengan Lia berjalan  natural, alami. Berjalan seakan biasa, namun batin ini bergemuruh, bergejolak. Seperti magma yang panas di dalam bumi. Oh, ini berlebihan. Ini baru langkah pertama. Kenapa imajinasi saya seakan-akan sudah sedemikian jauh? Bagaimana kalau ternyata Lia tidak ada apa-apa dengan ku ? Jangan-jangan memang seperti itulah yang terjadi. Kesimpulan sementara, saya GR tingkat 7, alias terlampau GR. Hanya karena ditanya soal matematika, pikirannya melayang kemana-mana. Duh, dasar akan ndeso.

Teeeeeeet. Bunyi bel tanda waktu istirahat mengagetkan lamunanku. Dalam beberapa detik, ruang kelas kembali penuh. bermacam aroma menghinggapi sekelilingku. Ada yang bau keringat karena habis makan bakso kepanasan, ada yang tampak segar habis cuci muka. Ada yang bau keringat campur debu, bagi yang habis keluar berpanas-panasan.

Tak lama kemudian guru geografi masuk, Pak Sugiarto. Dia adalah salah satu guru yang saya benci, ya satu-satunya yang saya benci. Karena seumur hidupku, guru inilah satu-satunya yang berani-beraninya memberi nilai merah di dalam raportku. Sebuah penghinaan yang luar biasa. Harusnya saya protes ke Kepala Sekolah. Tapi percuma, faktanya saya tidak bisa menyelesaikan soal geografi dengan baik.
Tapi bukankah guru harus menilai secara keseluruhan selama satu semester? Bukankah nilai raport harus mencerminkan kemampuan yang sesungguhnya?
Guru geografi itu pasti tidak tahu bahwa di SMP aku paling jago pelajaran geografi. Aku paling hafal peta buta di kelas. Lulus SMP dengan peringkat 3 dari 300an siswa di sebuah sekolah favorit. Kenapa ia memberi nilai saya angka lima? Kejam sekali pak guru senior yang sebentar lagi pensiun.
Begini ceritanya. Waktu itu ulangan semester 2 kelas 1 IPA sedang berlangsung di hari kedua. Ya, dua tahun lalu. Tak ada firasat apapun. siang sampai sore saya menjalankana aktivitas biasa, sambil belajar persiapan ulangan esok harinya. Namun sore hari setelah sholat magrib aku dijemput Mas Toyo, kakak sepupuku supaya pulang ke rumah. "Ibumu perlu ditengok. Sakitnya agak parah dan memanggil-manggil kamu," katanya di rumah kost.Wajahnya kelihatan capai, mungkin seharian bekerja dan langsung diminta menjemput ku.

Badanku langsung terasa lemas. Pikiranku langsung kacau, khawatir, jangan-jangan Tuhan akan atau sudah memaggil ibuku.

Ibuku baru berusia 38 tahun. Seorang pekerja keras sejak muda. Meski berpendidikan hanya sampai kelas 5 SD, ia cukup cerdas dan kreatif dalam mencari rejeki. Ia mulai "berkarir" sebagai penjahit. Karena begitu larisnya sebagai penjahit, ia jatuh sakit. Setelah sembuh, ia kembali tak mau berdiam diri. Ia membuka kursus menjahit. Berikutnya ia buka warung sembako.

Dalam perkembangannya bukan hanya menjual sembako eceran, tapi juga memasok sayur mayur ke ibu-ibu gendong pedagang keliling. Karena ayahku seorang guru, maka ia membantu soal hitung menghitung laba rugi.

Meski usahanya terus berkembang, kami tetap hidup sederhana, dengan menggunakan gaji ayah. Hasil usaha ibuku tampaknya terus diputar untuk mengembangkan usaha. Inilah pelajaran wirausaha yang sangat penting bagiku.

Hasil usaha sebagian untuk meningkatkan aset produktif, antara lain membeli kebun cengkeh dan sawah, serta untuk meningkatkan skala usaha, yaitu memperbesar warung dan diversifikasi usaha. Antara lain yang semula hanya sembako, berkembang menjadi jualan pakaian.

Sayangnya ketika terus berkembang, ibu kembali terserang sakit. Saat itu saya kelas 1 SMA di akhir semester 2, Ibu harus dirawat di rumah sakit milik TNI. Penyakit jantung, kata dokter. Aku tidak tahu persis jenis penyakitnya.
Sampai suatu ketika menjelang aku menempuh ulangan semester 2, ibu bisa pulang ke rumah. Kondisinya tidak terlalu baik, namun dokter membolehkan pulang. Betapa bahagianya kami sekeluarga.
Namun sore itu aku harus menghadapi kenyataan, aku dijemput supaya pulang. Padahal besok pagi aku harus ulangan pelajaran Kimia dan Geografi.
Pperjalanan naik sepeda motor dari tempat kost ke rumah, ditempuh selama 2 jam. Ini perjalanan membonceng sepeda motor yang terasa paling lama sepanjang masa. Dan selama dalam perjalanan itu tak ada sepatah katapun dari mas Toyo maupun saya. Agaknya kami masing-masing saling memahami untuk tidak terusik oleh pikiran dan kekhawatiran.

Ketika sampai di rumah, suasana rumah sudah banyak berkumpul keluarga dan tetangga. Ibuku dalam keadaan kritis. Kami semua sepertinys sudah pasrah. Dokter di kampung hanya mampu memenangkan kami. Beberapa orang memelukku sambil terisak.

Dan....
dini hari, Tuhan memanggil ibuku.....
Sulit dipercaya, bahwa hari itu saya tidak lagi punya ibu...
Dulu kalau ada cerita seorang anak muda ditinggal ayah atau ibunya, aku menganggap itu orang lain, dan tidak mungkin buat ku.
Tak pernah terbayangkan bahwa aku mengalami cerita seperti kisah sinetron.
..............................................................................................................
Dalam keadaan duka yang sangat sangat dalam, aku tak bisa berlama-lama di rumah, karena sedang ulangan semester 2 untuk kenaikan kelas. Selang sehari aku harus balik ke kota untuk menjadi orang biasa. Sangat tidak mudah untuk bersikap biasa, apalagi tertawa.
Sesampainya di rumah kost, seharian saya mengurung diri di kamar, dan tak ada satupun teman yang berani menggangguku. Pintu kamar saya kunci. Baru kali ini aku merasa sangat cengeng.

Malam hari saya baru keluar kamar dan mencoba tersenyum pada teman2 satu kost.
Sebagian menepuk-nepuk punggungku sebagai tanda simpati. Tanpa harus bicara, saya paham, teman-teman kost itu sedang ikut menghibur.

Singkat cerita, aku harus mengurus ulangan susulan ke guru geografi dan kimia. Untunglah guru kimia yang asal sumatera utara itu sangat baik. ia paham akan suasana hatiku yang tengah dirunding sedih. Ia memberi waktu 3 hari kemudian untuk ujian susulan. Aku mendapat nilai 7 untuk pelajaran kimia.
Sementara itu untuk guru geografi,  saya diminta lapor dulu ke kepala sekolah untuk minta surat keterangan dan minta ulangan susulan.

Heran juga aku terhagap si guru tua ini, kenapa aku seperti sedang mengurus surat kematian?
Akhirnya saya mendapat waktu ulangan susulan di ruang kerjanya. Dan, hasilnya .......angka 5.

Sejak saat itu, aku tidak merasa harus menghormati seorang guru senior itu. Aku langsung menyimpulkan, pantas saja dia sudah tua tetap jadi guru, tidak punya jabatan apapun di sekolah. Bukan guru yang bijak. Ia memberi nilai tanpa mempertimbangkan situasi yang sebenarnya terjadi. Lagi pula soal ulangannya jauh lebih sulit dibanding yang diberikan pada ulangan normal. Banyak soal uraian yang saya yakin teman sekelaskupun tidak mampu mengerjakan dengan nilai 8.

Pak Sugiarto yang saya benci, kini tengah berceramah soal klimatologi di kelas 3, kelasku. sebenarnya aku tertarik pada ilmu ini, tapi karena yang mengajar adalah orang yang memberi nilai 5, aku menjadi kurang bergairah. 

Sambil mendengarkan ceramah guru, aku coba perhatikan Lia yang di depanku. Ia tampak sangat antusias pada pelajaran ini. Ah, suatu saat aku harus bertanya soal geografi padanya......

0 komentar:

Posting Komentar