Sabtu, 23 Mei 2015

BERDAMAI DENGAN KEINGINAN



Hari itu Minggu pertama di bulan Januari 1975, saya harus berdamai dengan keinginanku yang menggebu untuk memiliki sebuah sepeda mini. Di tahun itu, sepeda adalah barang mewah, apalagi buat anak kampung seperti saya. Di Kampung yang jumlah penduduknya hanya 2000an orang ini, keluarga yang mampu memiliki sepeda hanya beberapa orang saja antara lain para pejabat Desa, guru, pedagang atau petani yang punya lahan luas. Beruntung, ayah saya seorang guru SD dan ibu saya pemilik warung sembako. Saya yakin, kalau mau, tidak sulit bagi orang tua saya untuk membeli sepeda. Tinggal bilang  sama Ko Kim San, pasti sepeda sudah bisa di tangan saya.

Ya, Ko Kim San. Ia  adalah pemilik Toko Taruna, grosir sembako terbesar di kota saya yang memasok barang dagangan ibu saya. Lokasinya di kota Ajibarang, 20km dari kampung saya. Adapun Ajibarang adalah kota kawedanan yang lokasinya 15 km sebelah Barat Purwokerto, Jawa Tengah.
Meski baru kelas V SD saya sudah cukup dikenal oleh Ko Kim San, pengusaha Tionghoa tersohor di Ajibarang, karena hampir setiap Hari Minggu, manakala ibu saya belanja barang, saya nongkrong di toko Taruna sambil nonton TV berwarna miliknya yang disediakan di ruang tunggu, sementara Ibu saya masuk ke pasar untuk berbelanja barang lain yang tidak tersedia di Toko milik Kim San tersebut. Pasar Ajibarang berlakosi di seberang toko  milik Kim San. Oya, TV berwarna adalah barang langka di waktu itu. Di rumah saya ada TV hitam putih. Itupun satu kampung yang punya tak lebih dari 10 orang, sudah termasuk TV milik kelurahan yang selalu dijejali penontong setiap malam.
Agak aneh juga Ko Kim San ini. Dialah satu-satunya Grosir sembako  di kota Ajibarang yang punya ruang tunggu, yang  lebih luas dari ruang tunggu di praktek dokter, dan ditambah bonus makanan ringan untuk para penunggu. Oh, saya pikir-pikir mungkin ini cara dia untuk membuat nyaman para pelanggan. Dan sayalah yang sering diperlakukan istimewa oleh Ko Kim San, karena sayalah satu-satunya anak kecil--baru kelas V SD-- yang mau dengan sabar nunggu ibu berbelanja.
Putra Ko Kim San sudah masuk SMP, punya dua sepeda , satu sepeda mini, satunya sepeda laki-laki. Kerap kali saya iri melihatnya bersepeda.

"Sudah punya sepeda belum?" suatu hari dia bertanya ketika mau keluar rumah dengan membawa sepeda kesayangannya.
Saya menggeleng.

Dengan celana pendek dan kaos putih bergambar Scooby Doo, film kartun yang sangat populer di waktu itu, ia tampak sangat serasi dengan sepedanya. Sepertinya pertanyaan itu sengaja ia lontarkan untuk membuat saya iri padanya.

"Tinggal bilang saja sama ibumu. Ntar papa saya bisa sediakan kok, tinggal pilih tuh yang mana," ujarnya dengan suara setengah berbisik, sambil menunjuk toko sebelah yang juga milik keluarganya.
Uh, benar-benar menjengkelkan. Saya sudah minta sejak 2 bulan lalu. Kenapa sih Ibu saya belum juga membelikan sepeda? Padahal sekarang liburan semester, waktu yang sangat pas untuk menikmati sepeda baru.

Sinung, putranya Pak Kades yang kakak kelas saya di SD sudah memilik sepeda mini sejak beberapa bulan lalu. Saya sudah belajar menaiki sepeda meskipun belum lancar. Purnomo, putra paman saya yang pegawai Kecamatan juga sudah beli sepeda minggu lalu yang harganya lumayan mahal. Kemarin siang dia memamerkan sepedanya di lapangan depan rumah saya. Saya menontonnya dengan penuh takjub.

Ya, betapa enaknya punya sepeda. Bisa ke sekolah lebih cepat, meskipun di sebagian jalan ada tanjakan yang membuat saya harus menuntun sepeda dalam beberapa menit.
“Soal sepeda itu gampang, yang penting kamu bisa mengelola uangmu dulu,” ujar ibuku ketika saya mencoba menanyakan lagi rencana beli sepeda.

“Maksud ibu gimana? Saya ada uang sedikit dan saya simpan. Itu saja yang bisa saya lakukan”, jawab saya agak jengkel. Duit yang saya simpan diam-diam itu rencananya buat beli mainan pistol-pistolan. Saya menduga Ibu akan minta uang itu buat tambahan beli sepeda. Tak apalah, ini tanda-tanda Ibu saya bersedia membeli sepeda.

“Begini, uang itu kau beli cengkeh basah, lalu dikeringkan dan dijual lagi,” jelas ibuku.
“Waduh bu, bisa tahun depan saya beli sepedanya kalau begini,”
Saya mencoba mengelak  saran ibu saya. Sejujurnya meski masih SD saya sudah diajari ibu bagaimana mengembangkan uang. Saya semakin paham, cara berpikir ala Ibu saya yang pedagang. 

Kalau ayah mengajari saya  belajar yang rajin, ibu saya menambahkan pelajaran yang namanya “mengelola uang.
“Nggak usaha khawatir, dalam sebulan ke depan kamu bisa punya sepeda. Sekarang musim panen cengkeh. Kita beli cengkeh petani dan kita keringkan. Cengkeh kering kita jual dan hasilnya buat beli cengkeh basah lagi, terus dikeringkan lagi. Gampang kan?”
“Apa benar begitu Bu?” saya kurang yakin.
“Dicoba saja. Tabunganmu ada berapa? Kalau ada lima ratus rupiah cukup kok untuk modal. Kalau kurang akan saya tambahi.”

Saya menatap ibu agak lama. Terus terang saya sering terkagum-kagum dengan pemikiran ibu saya. Entah darimana belajar soal bisnis. Dia sekolah hanya sampai kelas 5 SD. Konon untuk ukuran kampung saya, sampai kelas 5 SD sudah hebat.

“Ibu belajar darimana sih cara cari duit seperti ini?” tiba-tiba saya melontarkan pertanyaan begitu saja. Rasa jengkel terasa sirna dalam sekejap. Ibu kelihatan agak terkejut mendengar pertanyaan yang cukup berbobot dari anaknya yang masih SD.

“O itu. Ibu kan kenal Ko Kim San, Babah Jeng, Go Sing, juga Pak Warto juragan ikan asin, Bu Hajah Jasem juragan teh di Pasar. Mereka suka mengajari saya,” katanya dengan raut muka yang berubah manis. Tampaknya ia senang sekali mendapat pertanyaan seperti ini.
Ibu yang sedari tadi duduk sambil menulis beberapa catatan dagang, kini melepas pena dan mendekat ke saya yang dari tadi berdiri di belakangnya.

“Terus gimana caranya ibu kenal mereka semua. Kan bukan saudara kita semua? Jaraknya Jauh pula!” saya bertambah penasaran.
“Terus terang, saya juga nggak tahu. Kalau saya pikir-pikir kenalan saya yang orang kaya lumayan banyak juga ya. Ketika mulai jualan beberapa tahun lalu, saya nekad saja tanya ini tanya itu kepada mereka, lama-lama mereka mengenal saya. Sekarang hampir semua semua toko di sana kenal namanya Bu Rusdi kan?

Ya, Bu Rusdi adalah nama panggilan ibu saya. Rusdi adalah nama ayah. Kalau saya jalan sama teman ke Ajibarang, lewat toko, pasti ada seorang pedagang yang menyapa saya. “eh kamu putranya bu Rusdi ya?”. Saya tersenyum bangga. Popularitas ibu saya mengalahkan teman-teman saya yang tinggal di kota.
Membeli cengkeh basah untuk dikeringkan adalah ilmu para pedagang. Itu pulalah yang selalu dilakukan Ibu saya ketika musim cengkeh tiba. Ibu punya kelebihan dibanding rekan-rekan sekampungnya yang  juga juragan cengkeh. Ibu selalu berpikir mengembangkan, kalau bahasa sekarang memproduktifkan uang. Ia tidak mau mendiamkan uang. Begitu ada uang ia dengan cepat mengambil keputusan untuk investasi. Semula hanya warung sembako eceran, kemudian ia memasok belasan pedagang sayuran keliling, membeli mesin jahit dan mesin obras hingga jual pakaian. Pendek kata, ibu saya tidak mau duduk manis di rumah. Ada saja kreativitas yang dilakukan untuk memajukan usahanya.

Pelajaran tentang usaha sudah saya dapatkan sejak saya SD. Hingga kini pelajaran ini begitu membekas. Yakni tentang membuat uang menjadi produktif, bukan konsumtif. Betapa repotnya orang kota bergaji besar tapi terjerat hutang. Itu karena mereka berjiwa konsumtif. Setiap gajinya naik, hutangnya bertambah, dan semua hutang mereka adalah hutang konsumtif.


0 komentar:

Posting Komentar